Sudah 45 menit nunggu
nih. Send. Semenit kemudian. Bentar lagi mas, ini nunggu Fifi. Udah mau otw. Bunyi
pesan yang kuterima dari Fika.
Matahari merangkak
naik. Peluh sudah menetes karena angin tak mendesir, padaha hari masih pagi. Jam
di ponsel baru menunjukkan 07.45. Jaket sudah dilepas untuk mengusir gerah,
tapi keringat tetap deras menetes. Akhirnya, yang ditunggu pun datang. Tiga kawan
yang berencana silaturahmi ke kawan di pulau garam.
“Cuma bertiga aja?” tanyaku.
“Satu lagi si Nana, mas. Kita jemput sekalian, karena kosan-nya deket kampus. Yang
lain pada gak bisa,” jelas Fika. “Oke kalo gitu, kita berangkat,” sambil memasang
jaket kembali ke badan. Setelah menjemput Nana, kami bergegas melaju ke Madura,
melewati Jembatan Suramadu sepanjang 5,4 km.
Rencananya, kami akan
berkunjung ke rumah Mas Alim, salah satu kawan di kampus. Dia asli orang
Madura, bekerja dan tinggal di Kota Sampang, sekitar 70 km dari pangkal
Jembatan Suramadu. Jadi, perjalanan yang akan ditempuh sekitar 2-2,5 jam. Tapi karena
belum sarapan, kawan-kawan pun memutuskan sarapan dulu di RM Bebek Sinjay, arah
Kota Bangkalan. Sedikit keluar jalur dari tujuan, yakni Sampang. Tapi karena
populernya nama Bebek Sinjay, kita pun membelokkan motor ke kiri, dari
pertigaan besar jalur bebas hambatan.
Benar juga, rumah
makan yang terletak di daerah Ketengan, Bangkalan, ini ramai sekali. Beda banget
dengan beberapa rumah makan dengen menu bebek yang kita lewati, terlihat sepi
atau tak seramai Bebek Sinjay. Fifi pun memesan lima porsi buat kita santap
ramai-ramai. Hmm.., kalo dari rasa sih sebenarnya gak ada yang spesial dari
bebek goreng ini. Rasanya cenderung biasa-biasa aja, seperti bebek-bebek goreng
yang banyak aku jumpai di warung-warung Surabaya.
Tapi, yang beda adalah
sambel pencit (mangga muda)-nya. Sebenarnya, rasa dari sambel juga kurang
membuat aku puas. Kalau boleh memberi skala yah paling 6,5 dari 10. Enak tapi
bukan yang wah gitu deh. Terus apa dong yang bikin nih bebek jadi heboh, bahkan
deretan meja udah dipesan padahal yang mau makan belum datang. Sampai-sampai,
tiga orang polisi turun tangan untuk mengatur lalu lintas di depan rumah makan
ini, karena keluar masuknya mobil dan motor bikin macet. Hmm, jadi penasaran.
“Kalo saya sih gak mau
makan di Bebek Sinjay,” ujar Mas Alim, sewaktu kita sampai di rumahnya. “Lho
kenapa mas?” tanyaku penasaran. “Jadi gak enak ngomongnya. Tapi ini beneran,
ini yang dilihat istri saya dan temannya,” kata Mas Alim. (nanti setelah baca
jangan miss understanding atau bilang ini black campange yah, karena ini cuman
rumor yang beredar dari pengunjung lho, dan gak ada maksud mencemarkan nama
baik).
Katanya, di wajan
penggorengan, disisipi darah supaya rasa bebek terasa lebih gurih. Terus, di
depan papan tulisan “Sinjay” ada “makhluk halus” yang melambai2. (wah ini
berbau mistik nih). Testimoni orang- orang yang pernah makan di sana soal "makhluk gaib" di tulisan Sinjay juga pernah didengar oleh Fifi. “Tapi mas, kan gak cuma Sinjay ajah. Kayaknya banyak deh
warung-warung makan yang pake “gituan” (mistis) supaya dagangannya laris,”
timpal Fifi. “Memang. Tapi karena istri saya yang lihat sendiri, jadi saya gak
mau makan di sana,” balas Mas Alim dengan dialeg Maduranya yang kental. “Hehe.., ya udah deh. Sekali-sekali ajah
makan di sana, kan gak sering-sering ini,” kata Fifi. Gerrr..., semua pun
tertawa dengan menelan ludah ngeri masing-masing.
Lupakan Sinjay,
kembali lagi ke Sampang. Terik matahari yang sudah aku rasakan sejak pagi,
makin mencubit di pulau garam ini. Gerah campur panas, begitulah perjalanan
yang kami tempuh. Karena tidak mengenakan sarung tangan, kedua punggung tanggan
ku yang berwarna sawo (sawo busuk) langsung menggelap. Belang cing..!! Air
minum pun terkuras, dan warung yang menjual minuman dingin pun jadi sasaran. Glek
glek glek..., air fanta dingin pun membasahi tenggorokan. Dingin sekaligus
membuat kepala pening, karena dari suhu yang panas langsung diguyur minuman
dingin. Biarlah, terpaksa soalnya, hehehe... Makanya, next time kalo berkelana ke Madura, apa lagi naik motor, gunakan penutup badan yang full, plus sunblock, biar item-nya gak luntur masbro dan mbakbro.
Mendarat selamat di
rumah Mas Alim, kita langsung selonjoran meluruskan pantat dan melepas gerah. Mas
Alim yang baik hati pun menyuguhkan es
kelapa muda campur susu, srruuuppp..., 10 menit langsung amblas. Dasar anak-anak
kuliahan, maklum juga anak kos-kosan, begitu ditawari makan siang sate ayam, gak
pake ba-bi-bu, tancap gas. Nyam-nyam-nyam..., wuenak rek!
Selang setengah jam
kemudian, cuaca berbaik hati. Sedikit awan mendung bergelayut di langit. Matahari
tak sejudes tadi siang. Kota Sampang pun terlihat lebih ramah. Bicara soal
Sampang, image yang terbayang adalah kerusuhan Sampang yang terjadi Agustus
lalu, akibat perselisihan keyakinan di antara penduduk di sebuah kampung. Citra
kurang sedap membayangi Sampang. “Serem gak sih di sana?” pertanyaan seperti
itu pasti bermunculan di sejumlah benak yang belum pernah menginjak bumi
Sampang.
Seperti kota-kota lain
di Jawa Timur, Sampang tak ada bedanya. Masyarakatnya agamis, yah itulah citra
yang tampak di mataku. Keras, itu memang karakter orang Madura. Tapi, gak semua
orang Madura galak-galak kok, banyak juga yang hatinya lembut. Menurut data
BPS, tahun 2012 tercatat 880.599 jiwa penduduk di Kabupaten Sampang, tersebar
di 14 kecamatan, di luas wilayah 1.233 km persegi. Jumlah perempuan lebih
banyak 5 persen, dari pada laki-lakinya, dengan pekerjaan utama adalah petani.
Di Sampang memang gak
banyak obyek wisatanya, yang boleh dikatakan menjanjikan. Tapi, salah satunya
ada Pantai Camplong yang sempat kita kunjungi. Jaraknya sekitar 8 km dari pusat
kota ke arah timur. Pantai pasir hitam ini banyak dikunjungi masyarakat lokal,
terutama pada akhir pekan. Dasar pantai berbatu karang kecil-kecil dan lumut,
kurang nyaman untuk main air. Ada nelayan yang menawarkan jasa kapal ke
tengah laut, tawar saja harganya. Lebih untung kalau bisa bahasa
Madura, bukan logat Madura lho! (bok abok.., taiye dheq..). Selain Pantai
Camplong ada juga obyek Raden Segoro Ruins,
Hutan Monyet Nepa, Batu Ampar, dan Mandangin.
Istri Mas Alim berkomentar,
di sini, makanan khasnya itu Kaldu, semacam sop/gulai kikil (urat kaki) sapi
yang bercampur kacang hijau. Selain itu ada juga Bebek Songkem, yakni semacam
pepes bebek. Bukan digoreng atau dibakar, tapi bebek yang sudah dibumbui dibungkus
daun pisang lalu diungkep. Sayangnya, karena kita gak berencana menginap, dan
harus pulang balik Surabaya sebelum malam, maklum naik motor bawa cewek-cewek,
jadi kita batal mencicipi bebek songkem dan kaldu itu. (hiks hiks hiks.., jadi
ngiler ngebayanginnya).
“Udah nginep ajah,
baru besok pulangnya,” ujar istri Mas Alim menawari kami ramah. “Pingin nya sih
nginep, tapi gak ada persiapan nih mbak,” ujar kawan-kawan. Jadi, sekitar jam
16.30 kami pun cabut balik ke Surabaya, berkejaran dengan petang yang kian
menjelang. Au revoir Sampang, next time kita mampir lagi. Soon...
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar