Festival Jalan Dhoho
Derasnya rinai hujan menyambut kedatangan kami di kota
Gudang Garam ini. Di teras luar stasiun yang dibangun tahun 1882, kami menunggu
kedatangan Arya dan Mbak Ema yang berjanji menjemput. Jam besar di dalam
stasiun, yang sempat aku lihat, jarum pendeknya menunjuk angka tiga, dan jarum
panjangnya bergelayut di angka delapan.
Tak sampai 10 menit berdiri menikmati kucuran hujan dari atas atap teras toko di depan stasiun, mereka berdua datang berbalut jas hujan, masing-masing menunggang sepeda motor. “Kita ke depan (jalan raya). Nanti naik angkot ke rumah bulek-ku,” jelas Arya singkat, setelah sedikit berbasa-basi menyambut kami di kotanya.
Saat menyusuri jalan yang telah disulap menjadi semacam
pasar malam itu, Mbak Ema menjelaskan secuil informasi tentang Jalan Dhoho. Jalan
yang terletak di pusat Kota Kediri ini hampir sama dengan Jalan Malioboro, Yogyakarta,
yakni sentra niaga yang menjual berbagai kebutuhan sandang, makanan, juga
hiburan. Jalan ini tak pernah sepi. Apa lagi pada malam ini. puluhan kios
berderet memanjang di tengah jalan, dan 4 panggung digelar. Salah satu panggung
menampilkan tari-tarian tradisional dan satu panggung lagi memberi suguhan semacam
wayang kulit kontemporer yang disebut Jemblung. Tujuan perhelatan festival ini ialah memberi wahana bagi UKM-UKM di Kediri mempromosikan produknya, sekaligus menampilkan khasanah budaya dan tradisi yang masih bertahan di Kediri.
Nama Dhoho, mungkin diambil dari kisah Ki Ageng Dhoho,
patih dari Sri Aji Jayabhaya, yang dikenal setia, teguh, dan jujur, dan sebagai
penjaga Kediri. Kata Dhoho kemungkinan besar berasal dari kata Daha, yang
diambil dari kata Dahanapura, yang berarti “kota api.” Karena lidah orang Jawa
yang melafalkan “a” menjadi “o” maka, Daha menjadi Dhoho. Daha sendiri merupakan kota
tempat kerajaan Panjalu berkuasa, yang nantinya jadi cikal bakal Kerajaan Kediri.
Kerajaan Kediri, sendiri terbentuk karena adanya pemisahan
Kerajaan Mataram yang dilakukan oleh Airlangga, guna menghindari perselisihan anak-anak
selirnya, menjadi dua, yakni Kerajaan Jenggala dan Panjalu, di tahun 1042
masehi. Kerajaan Jenggala berpusat di Kahuripan, yang meliputi wilayah (dulu) sampai
Surabaya dan Malang, sedangkan Panjalu di Daha, meliputi wilayah Kediri dan
Madiun. Salah satu raja ternama Kediri adalah Jayabhaya, yang terkenal dengan
ramalan-ramalannya.
Kerajaan Kediri runtuh pada pemerintahan Raja Kertajaya
(1185-1222), melalui Perang Tumapel, dikalahkan Ken Arok, yang kemudian hari
membangun Kerajaan Singasari. Kini Kediri telah berkembang menjadi salah satu daerah terpenting di Jawa Timur. Kediri terdiri dari kota & kabupaten. Boleh dibilang, kini Kota Kediri adalah kota besar keempat di Jawa Timur setelah Surabaya, Malang, dan Jember. Kota ini menjadi kiblat bagi kabupaten di sekitarnya, seperti Trenggalek, Ponorogo, Nganjuk, Tulungagung, Pacitan, dan Blitar. Bukan hanya pesat sebagai kota perdagangan, Kediri pun tumbuh menjadi kota industri, seperti adanya pabrik rokok dan besi baja, juga kota pendidikan dengan banyaknya sekolah/akademi kesehatan.
Kelenteng Makco Kebanjiran
Sayangnya, kemeriahan festival malam ini sedikit terusik
hujan yang membuat pengunjung enggan berkeliaran. Kami pun bergeser menuju
kelenteng yang tak jauh dari Jalan Dhoho. Kelenteng Tjoe Hwie Kiong, namanya. Hujan
sedikit mereda, saat kami meminta izin masuk kepada petugas jaga. Setelah dibolehkan
masuk, kami segera pasang aksi di depan kamera. “Boleh masuk tapi hanya di
depan kuil saja ya. Malam ini gak boleh masuk ke dalam (ruang ibadahnya),” kata
petugas jaga.
Aku sempat ngobrol singkat dengan umat yang sedang
duduk-duduk santai di latar ruang ibadah. Menurut cerita tiga orang bapak-bapak
yang usianya kuperkirakan di atas 60 tahun itu, kelenteng ini langganan banjir.
Dulu, banjir akibat luapan Sungai Brantas, yang terletak persis di sisi barat kelenteng,
masuk ke dalam kuil sampai semeter tingginya. Oh ya, Kediri adalah kota yang
diapit oleh deretan gunung dan bukit, seperti Gunung Kelud, Klothok, dan
Maskumambang. Di bagian tengah kota di belah oleh Sungai Brantas.
“Yang paling parah tahun 1955, 1965, dan 1975. Lalu kelenteng
direnovasi dan ditinggikan. Sekarang kalau hujan deras masih banjir sedikit,
tapi gak sampai masuk ke dalam,” ujar salah satu bapak yang kepalanya dipenuhi
rambut putih.
Dewa yang dipuja oleh umat di kelenteng ini adalah dewa
laut. Hal ini mengingat lokasi kelenteng yang dekat/menghadap Sungai Brantas. Dulu,
di dekat kelenteng yang dibangun sekitar abad ke 17, ini ada pelabuhan dan
banyak pemukiman nelayan. Sebutan dewa laut yang mereka hormati adalah Makco
(Ma Cao), sehingga kelenteng ini pun disebut Kelenteng Makco.
Di salah satu sudut kelenteng terdapat patung Makco (Thian
Siang Sing Boo) seberat 18,7 ton yang didatangkan dari Desa Buthien, China. Patung
Makco yang menjadi perlambang welas asih dan ketentraman tersebut didatangkan tahun
2011 kameren. Kelenteng ini pun sudah terdaftar sebagai benda cagar budaya yang
dilindungi oleh Pemkot Kediri, sehingga tidak boleh sembarangan dibangun atau dirombak. “Tidak
boleh direnovasi lagi, hanya boleh diperbaiki kalau ada yang rusak saja. Soalnya sudah jadi bangunan cagar budaya,” ujar salah
satu bapak-bapak itu.
Privat Waterfall
Alarm ponsel berbunyi nyaring. “Ayo bangun, sudah jam 4,”
kataku dengan malas. Hari ini kami harus bangun pagi. Sebab, rencananya, jam
05.30 kami akan berangkat ke air terjun Dolo, di Kecamatan Mojo, sekitar 1 jam
dari Kota Kediri. Kantuk masih merambat di pelupuk mata. Langit pun masih
gelap. Tapi kami harus bersiap-siap, karena pagi ini kami sekalian check-out
dari rumah bulek-nya Arya.
Jam 05.00, lewat sedikit, mobil rental yang disewa sudah
menunggu di luar pagar. Setelah pamitan, dan mendapat bekal sarapan, kami
meluncur ke Dolo. Sejuknya udara pagi Kediri menyapa sepanjang perjalanan
menuju lokasi wisata di ketinggian 1.200 dpl. Karena masih terlalu pagi, kami
pun masuk ke lokasi wisata itu dengan leluasa. Belum ada petugas loket masuk
yang berjaga di posnya.
Tantangan pertama yang harus kami lalui untuk mencapai
air terjun Dolo adalah menuruni anak tangga yang jumlahnya mungkin lebih dari
1500 anak tangga. Setidaknya, 3 kali kami harus berhenti untuk menarik nafas
karena beberapa teman merasa letih. “Ayo sedikit lagi. Sudah kedengearn kok
suara air terjunnya,” ujar Dian menyemangati dirinya dan teman-teman yang lain.
Namun, keletihan menuruni ratusan anak tangga yang
mengular itu pun terbayar. Air terjun setinggi lebih 25 meter itu menyapa kami
dengan agungnya, meski debit air yang mengucur tidak terlalu besar. Air terjun
Dolo serasa milik kami pribadi karena tak ada pengunjung lain yang tampak di
sana. Kami pun merasa bebas tertawa dan bermaian di bawah guyuran air terjun
itu. Dan yang tak ketinggalan adalah sesi pemotretan ala-ala model majalah
dewasa, hehehe...
Puas bermandi deburan air terjun, kami pun menyudahinya. Dan bersiap
menghadapi tantangan selanjutnya, yakni menapaki lagi ratusan anak tangga ini
untuk menuju ke parkiran. Lebih dari 10 kali rombongan terpaksa berhenti untuk
mengatur denyut jantung dan melemaskan otot betis yang menegang. Sampai-sampai,
Nana muntah karena tidak kuat menahan letih. Bau minyak kayu putih yang dioleskan di perut, tengkuk, dahi, dan leher untuk mengusir rasa mual akibat keletihan, pun beramburan di udara.
Walau aku tidak muntah, tapi nasib sial menghampiri. Seekor lintah menempel di jari tengah tangan kiriku, saat kami duduk beristirahat di deretan anak tangga. Lintah yang mulai gemuk oleh darah itu pun aku tarik paksa, sehingga darah segar membanjiri dari jariku. “Wah ini kalau ini ada Bella (Twillight), darahku pasti sudah dihisap habis,” khayalku berimajinasi. Lubang kecil 1 milimeter bekas gigitan lintah itu terus mengucurkan darah sampai 10 jam kemudian. (Bekas gigitan lintah bisa mengucurkan darah sampai 48 jam). “Lain kali bawa tembakau atau garam deh, antisipasi lintah atau pacet,” ujar seorang teman.
Walau aku tidak muntah, tapi nasib sial menghampiri. Seekor lintah menempel di jari tengah tangan kiriku, saat kami duduk beristirahat di deretan anak tangga. Lintah yang mulai gemuk oleh darah itu pun aku tarik paksa, sehingga darah segar membanjiri dari jariku. “Wah ini kalau ini ada Bella (Twillight), darahku pasti sudah dihisap habis,” khayalku berimajinasi. Lubang kecil 1 milimeter bekas gigitan lintah itu terus mengucurkan darah sampai 10 jam kemudian. (Bekas gigitan lintah bisa mengucurkan darah sampai 48 jam). “Lain kali bawa tembakau atau garam deh, antisipasi lintah atau pacet,” ujar seorang teman.
Sedikit info soal lintah, atau nama latinnya Hirudo
medicinalis, adalah hewan hermaprodit pengisap darah yang memiliki enzim dalam
mulutnya yang membuat darah encer (anti-beku darah), sehingga setelah dicabut
darah akan terus mengucur. Gigitan lintah yang hidupnya di air menggenang, itu seperti
gigitan nyamuk, dan dia mampu menyedot 5ml-15ml darah korbannya. Jika sudah
gemuk, lintah susah sekali dilepas atau dicabut. Agar lebih mudah dilepas, taburi
dengan tembakau atau minyak kayu putih di sekitar gigitan lintah. Cuci luka,
lalu tutup dengan perban atau plester untuk menghentikan pendarahan. Periksa berulang
luka itu, dan ganti dengan perban baru sampai darah berhenti menetes.
Soal Gunung Kelud dan
oleh-oleh khas Kediri, aku bakal cerita di episode selanjutnya. jadi kalau penasaran, baca yang part 3 yah... :)
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar