"Aku gak cocok jadi pedagang. Gak punya bakat, dan mungkin gak tegaan kali yah. Gak ada keturunan pedagang pula," seloroh Jim, sambil menyesap es kaccang hijau buatan temannya yang baru membuka kedai di sebuah mal. "Aku juga gak punya bakat dagang kok. Tapi aku jualan barang-barang yang aku suka. Kalo aku gak suka, ya gak aku jual," cerocos Elly.
Tidak mau tersudut, Jim pun balas berkomentar. "Iya, tapi gimana yah..., kok kayaknya berdagang itu bukan jiwa aku gitu lho. Kalo promosi barang, gak tahu yah, gak yakin aja. Tapi kalo promosi sesuatu yang harus dilakuin ama orang lain, aku sih bisa," Jim mempertegas. "Nah itu bisa buktinya. Jadi kamu itu intinya bisa berdagang," kembali menyudutkan Jim, bahwa Jim memiliki jiwa pedagang terpendam.
"Tiap orang itu pasti punya jiwa promotif kok dalam dirinya. Jadi jangan khawatir, kita semua itu pasti bisa promosi dan jualan," komentar Roy, teman yang menyuguhkan menu batagor Bandung di kedainya yang baru buka sehari ini. Roy meyakinkan, siapa pun bisa berdagang, asal yakin ama jualannya dan bisa melihat market.
Terlepas dari mau atau tidak nantinya Jim membuka lapak untuk berjualan satu atau lebih produk primer, sekunder, atau tersier, atau produk jasa, obrolan Jim, Elly, dan Roy mengerucut pada satu terminal besar, yang namanya kewirausahaan atau entrepreneurship. "Aku awalnya kerja sekretaris, tapi keluar dari kerjaan setelah tahu hasil kerja sendiri kok lebih menguntungkan. Waktu kerja juga sesuka hati kita, dan rasanya lebih mandiri, biar suami juga kerja," ungkap Elly.
Entrepreneurship or wirausaha mandiri bisa dilakukan oleh siapa pun. Mulai dari seorang bankir, wartawan, mahasiswa, pelajar, ibu-ibu rumah tangga, guru, satpam kantor, dokter, sampai staf admini kantor kelurahan. Semuanya bisa menjadi pengusaha atau berwirausaha. Tapi, yang namanya pengusaha itu bukan berarti harus punya modal yang gede, pabrik yang luas, karyawannya berderet, dan penghasilan ratusan juta per bulan. Memang, ujungnya ke sana, tapi pangkalnya bisa aja dimulai dari yang kecil dan sederhana. Awalnya dari jualan pulsa keliling, nanti punya gerai sendiri. Mulanya warung tenda, nanti jadi restoran cepat saji. Pertamanya cuma lapak di pasar kaget, dua tahun laggi udah punya butik di mal-mal.
Roy misalnya. Merasa bosan dengan pekerjaan sebagai financial adviser jasa asuransi, dia mulai melirik warung makan sebagai jalan keluar mengatasi kejenuhan. Kebetulan dia dan ibunya suka memasak, khususnya makanan Sunda, dan ada tawaran kios kosong dengan harga terjangkau di sebuah mal, jadi kanapa gak dicoba. Inilah, poin penting bagi calon pengusaha sejati, berani ambil risiko. Tapi, tentu aja risiko yang terukur dengan kemampuan dan ketersedian sumber daya.
"Udah santai ajah. Yang penting kita mau belajar," kata Elly. Dia mengaku tak punya pengalaman bisnis dan berdagang. Yang dia ketahui hanya bagaimana mendapatkan produk yang bagus, berkualitas, tapi murah. Soal menetapkan harga, itu berjalan dengan sendirinya, dengan tetap belajar dari pedagang lain yang sudah khatam makan asam-garam. Meski begitu, Elly tetap punya standar sendiri dan gak mau asal ikut arus. Elly mengaku, dia punya kemampuan dan keyakinan. Dia hanya bekerja pada bidang yang dia sukai.
"Aku gak suka ikutin tren. Kalo bisa aku bikin tren sendiri. Biar aja toko ku gak jual tas atau baju yang lagi nge-tren, tapi aku jual baju dan tas yang gak dijual di toko lain. Jadinya, konsumen malah senang belanja di tokoku," panjang lebar Elly menjelaskan. Namun, perempuan yang sudah menikah lima tahun ini mengaku tidak menutup diri. Pokoknya, dia banyak belajar dan cari info-info baru dari sesama pedagang yang ada di sekitar kiosnya. "Gak peduli temen-temen pedagangku banyak laki-lakinya, yang penting kan aku mau belajar, bukan macem-macem, hehehe..," tambahnya.
Lalu, bagaimana menanamkan sikap beriwirausaha mandiri. Lagi-lagi, itu harus dikenalkan sejak kita masih kecil, paling gak saat usia sekolah SD dan SMP. Aku jadi ingat, sewaktu SD dulu, guru kelas meminta kami, anak-anak didiknya, membuat kerajinan kreatif. Produk kerajinan yang dibuat tiap kelompok sudah ditentukan, dan kami harus mengerjakan sendiri, tidak boleh ada campur tangan orang tua. Nantinya, produk yang sudah jadi (di akhir tugas kami baru tahu) dijual saat penerimaan raport. Yang berjualan kami sendiri, dan hasilnya juga untuk kami sendiri. Itulah pengalaman wirausaha kecil-kecilan pertamaku.
Ternyata, tidak semua guru punya pola pikir wirausaha seperti itu. Dari pengakuan sejumlah teman, di SD dulu dia tak pernah mendapat "pelajaran" semacam itu. Demikian pula saat SMP, tidak ada kegiatan wirausaha bagi siswa-siswanya. Kondisinya sedikit berbeda saat SMA, meski tidak langsung berjualan, tapi dengan kegiatan OSIS yang butuh dana besar, yang tidak bisa mengandalkan sumber dana dari sekolah, maka kami harus berjuang mengali dana dari donatur atau dengan cara lain, yakni berjualan stiker.
"Kalo aku pernah jualan jamur goreng tepung om," ujar keponakanku yang kini duduk di bangku SMA kelas 2. Dia berjualan makanan dan minuman untuk mencari dana tambahan untuk kegiatan OSIS di sekolahnya. "Aku kan bagian dana usaha mandiri, jadi harus mikir gimana cari duit tambahan kalo ada kegiatan OSIS om," tambah Lia, keponakanku.
http://www.bankmandiri.co.id/ |
Jika boleh digaris bawahi (diwarnai, cetak huruf miring, & dikotaki sekalian juga boleh), berwirausaha bisa dibentuk dan dilatih pada siapa pun. Pendidikan dan ketrampilan wirausaha dikenalkan, kalo bisa malah dibiasakan, kepada anak-anak dan remaja. Selain membuat mereka akan bersikap mandiri, tidak bergantung pada orang lain, mereka juga diajak berpikir kreatif (positif) untuk bekerja & menghasilkan sesuatu, bisa berbentuk uang. Nantinya, secara gak langsung hal ini akan mencetak generasi muda yang berpola pikir wirausaha mandiri, dan tidak melulu melihat lapangan pekerjaan hanya terbatas sebagai pegawai. Tapi malah ciptakan lapangan kerja sendiri.
Sayangnya, belum semua sekolah memiliki dan mempraktikkan pelajaran wirausaha, entah sebagai muatan lokal atau pelajaran tambahan. Padahal, hal ini penting sekali bagi masa depan generasi muda kita yang akan menghadapi tantangan berat dalam dunia globalisasi. Bagi sejumlah guru/pengajar, pelajaran berwirausaha bukan hal penting, karena yang penting indeks prestasi anak-anak di sekolah, atau selama jadi murid mereka. Makanya, bagi mereka yang penting nilai pelajaran kimia, fisika, biologi, matematika, dan dan bahasa inggris anak-anak didik mereka bagus-bagus, dan kalo bisa nilai NEM nya tertinggi satu kotamadya. Masa depan anak-anak itu selepas dari bangku sekolah, bukan jadi prioritas dan hal yang dipusingkan para guru itu.
Saat ini, menurut catatan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baru 1,56 persen penduduk Indonesia yang jumlahnya 238 juta jiwa yang berwirausaha. Padahal ideal minimalnya, adalah 2 persen, atau sekitar 4,7 juta penduduk kita harus beriwirausaha agar pergerakan ekonomi, yang kini rata-rata 6,5 persen per tahun, makin kencang. Angka itu masih kalah jauh dibandingkan Singapura, yang jumlah penduduk yang berwirausaha sudah mencapai 7 persen, Malaysia dan Filipina masing-masing sekitar 5 persen, Jepang 10 persen, Amerika 12 persen. Mencermati angka-angka itu, boleh dibilang peluang berwirausaha mandiri di Indonesia masih terbuka luas dong.
Makanya, untuk menjadi mandiri dan bersikap wirausaha mandiri, butuh inovasi dari orang-orang yang menjadi panutan. Salah satu atau salah duanya adalah guru serta orang yang dianggap lebih tua dan mandiri, yang bisa dijadikan contoh. Maklum, tahap belajar pertama manusia adalah meniru dan beradaptasi. Jika kita sudah bisa meniru dan beradaptasi, tak pelak, inovasi-inovasi baru berwirausaha akan bermunculan dengan sendirinya. Ayolah..., kita tanamkan sikap entrepreneur ini mulai sekarang, biar kita gak ketinggalan zaman atau kalah melejit dengan negara tetangga.
Lalu, pekerjaan apa yang cocok buat aku? Mau dagang atau bikin bisnis produk jasa aja yah? (Kenapa gak dicoba dulu aja sih bro!)
never give up
-yuda thant-
"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari http://www.bankmandiri.co.id dalam rangka memperingati HUT Bank Mandiri ke-14. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar