Anak Gunung
Kelud
“Selamat Datang di Festival Gunung Kelud.” Sebuah spanduk
terbentang melebar di bawah langit mendung di atas jalan aspal mulus menuju ke
Gunung Kelud. “Wah, ada festival nih, bakal keren pasti di sana.” Pikir ku pun
melayang, membayangkan festival di Gunung Kelud akan serupa ritual Kasada di
Gunung Bromo.
Namun sayang, lagi-lagi kami disambut gerimis yang kian
deras memasuki kawasan Gunung Kelud di Kecamatan Ngancar. Dan tidak
beruntungnya lagi, pas kami tiba di pelataran parkir Gunung Kelud, ritual
larung saji Gunung Kelud baru saja bubar jalan. Peserta dan tamu undangan
festival, belum ada setengah jam yang lalu meninggalkan lokasi festival. Yang
tersisa hanya hiasan-hiasan festival, seperti janur dan sesaji yang tergeletak
di arena larung, pengisi acara yang sibuk melepas kostum, dan hujan yang tak kunjung
berhenti.
Ternyata, festival itu dimulai pukul 11.00, tepat saat
kami baru berangkat dari Kota Kediri. Jadi wajar kalau kami telat banget,
hehe... Sembari menunggu hujan yang tak kunjung menepi, kami pun membuka bekal
makan siang yang sudah disiapkan oleh ibunya Arya. Nasi ayam goreng dengan
sambal yang pedasnya mantab (angkat dua jempol). Perut kenyang, hati senang.
Waktunya menikmati Gunung Kelud.
Konon, ritual larung sesaji untuk menolak bala atau
bencana ini terkait dengan legenda Gunung Kelud, yakni pengkhianatan cinta
seorang putri dari Kerajaan Majapahit kepada Lembu Sura. Dyah Ayu Pusparini, putri
Raja Majapahit Brawijaya ini, menolak dinikahi lelaki berkepala kerbau (lembu)
yang telah berhasil memenangi sayembara dari Raja Brawijaya untuk mencari jodoh
putrinya. Putri Dyah Ayu, dibantu Raja Brawijaya, menjebak Lembu Sura dengan
menguburnya di dalam lubang sumur yang dibuat untuk tempat mandi mereka berdua
nanti setelah menikah. Ketika terkubur, Lembu Sura sempat bersumpah, bahwa setiap
dua windu sekali, dia akan merusak wilayah Kerajaan Kediri. Makanya, supaya
tidak tertimpa musibah, Brawijaya melakukan ritual larung saji guna meredam
kemarahan dan sumpah Lembu Sura. (http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore)
Selain legendanya yang mirip Roro Jonggrang, Gunung Kelud
yang tingginya 1.730 meter, itu menampilkan fenomena alam yang menakjubkan, yang
terjadi tepat lima tahun lalu. Kalau kamu pernah datang atau berwisata ke
Gunung Kelud sebelum tahun 2007, pasti menjumpai sebuah danau kawah Kelud yang
berwarna hijau terang. Namun, pemandangan itu tidak lagi tampak. Sebab, tanggal
5 November 2007 lalu, muncul Anak Kelud dari dalam kawah. Anak gunung yang
berdiameter 100 m dan tinggi 20 m, di awal kemunculannnya, itu terus membesar. Kalau
tidak salah, diperkirakan diameternya sudah mencapai 200 m. Dan seperti yang
kami lihat, asap belerang masih terus mengepul tipis dari celah-celah bebatuan
Anak Kelud.
Melihat lampu-lampu yang terpasang di sekitar Anak Kelud,
ternyata banyak wisatawan yang datang pada malam hari dan menikmati
keindahannya dalam soroton lampu. Kadang, warna merah dari buliran larva, mampu
menambah kesan eksotis Anak Kelud ini. Wisata Kelud malam hari memang sedang
dirintis dan digalakkan. Namun, bagi kamu yang tidak tahu medan dan jalan
menuju ke Kelud, sebaiknya menyewa mobil rental plus supirnya, yang sudah hapal
kondisi jalan ke sana. Sebab, ada beberapa tikungan curan yang perlu diwaspadai
saat malam hari, apalagi jika kabut merambat turun.
Untuk menuju ke lokasi Anak Kelud, kami harus menembus
gelapnya terowongan sepanjang 400 meter. Saat terowongan berkelok, cahaya
matahari di ujung terowongan menghilang, berganti temaram dan pekatnya gulita.
Hanya berkas sinar lampu-lampu yang menempel di dinding terowongan, menjadi
penerang di terowongan yang tinggi lengkung atasnya sekitar 3 meter dari
lantainya.
Di ujung lorong, jalan membelah. Kanan menuju salah satu
area yang digunakan ritual larung sesaji, sedangkan kiri menuju anak Kelud dan
gardu pandang. “Aduh.., tangga lagi. Jangan dong, udah gak kuat nih,” komentar
teman-teman. Karena hujan dan keletihan, akhirnya diputuskan kami tidak naik ke
gardu pandang, dan hanya beraksi narsis di depan anak Kelud.
Hujan rupanya ingin terus mengiringi perjalanan kami di
Kediri. Sampai petang, hujan terus berderai membasahi Kediri. Maklumlah, jika
berwisata di bulan November, risikonya adalah berbasah-basah ria. November
sampai Maret, adalah bulan hujan di Indonesia. Akhirnya, kami memilih bersantai
di rumah Mbak Intan, sambil menunggu Mbak Jujuk dan Mbak Galuh yang ingin
bertemu kami.
Gerbang Perancis
“Diyan..., ayoooo banguuunn..., banguuunn..,
banguuunn..,” ajak Fika yang membangunkan Diyan, dengan suara menirukan Ojan di
program Sketsa TransTV. Setelah packing, lalu menyantap habis gurame goreng dan
berpamitan kepada keluarganya Mbak Intan, kami meluncur ke Simpang Lima Gumul
(SGL), salah satu ikon Kediri.
Monumen yang menyerupai gerbang di Prancis (L’Arch de
Triomphe Paris) itu dibangun sejak 2003 hingga tahun 2008, dan menghabiskan anggaran dana miliaran rupiah. Tujuan monumen yang menghubungkan jalan
menuju ke Pesantren, Pare, Gurah, Pagu, dan Kota Kediri, ini untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat Kediri. Di pelataran parkir khusus SGL, pada Minggu pagi itu dipenuhi dengan penjual makanan dan kebutuhan sandang. Yah, hampir seperti pasar kaget di Taman Bungkul Surabaya, atau di sekitar Tugu Pahlawan, Surabaya.
Bangunan berbentuk kubah dengan 4 sisi terbuka ke arah 4
penjuru mata angin itu, katanya dibangun dengan filosofi Kerajaan Kediri. Tinggi
monumennya 25 meter yang disangga dengan 3 tangga, dan luas seluruh SGL 804
meter persegi. Itu semuanya melambangkan periode berdirinya Kabupaten Kediri. Jadi,
gak heran kalau di sudut-sudut SLG ada patung ganesha yang juga merupakan
lambang Kabupaten Kediri.
Dari parkiran ke monumen, ada underpass (jalan bawah
tanah) sebagai penghubungnya. Ada 3 underpass penghubung menuju ke monumen
itu. Saat memasuki underpass, aku langsung teringat underpass di Stasiun Kota
Jakarta. Kawasan SGL nantinya bakal jadi nadi perekonomian Kediri. Di sini,
juga sering dihelat event-event lokal dan nasional. Sebab, lokasinya memang luas, dan secara visual menunjang. Meski kaki kami masih jarem-jarem (pegel) akibat mendaki ratusan anak tangga di Kelud dan Dolo, tetap aja, kalau urusan foto kami tetap dan akan selalu eksis dan tampil luar biasa, termasuk dengan gaya levitasi melayang di depan SLG.
Gua Putus Cinta
“Ayo kita ke Gua Selomangleng. Masih ada waktu kan,” ajak
Mbak Intan. Ya, masih ada waktu sekitar 2 jam sebelum kereta kami kembali ke
Surabaya berangkat. Makanya, kami pun bergegas menuju obyek wisata gua yang
terletak di depan kampus Universitas Kadiri, di daerah Gunung Klothok. Suami mbak
Intan pun segera melajukan mobilnya membawa kami ke guna yang konon menjadi
tempat pertapaan Dewi Kalisuci (Sanggaramawijaya Tunggadewi), putri mahkota
Raja Airlangga. Putri yang terkanal welas asih ini menolak menerima tahta
kerajaan yang diwariskan kepada dirinya. Dia lebih memilih menjauh dari
kehidupan duniawi, sehingga bertapa di gua ini.
Di depan jalan menuju ke gua, berdiri anggun patung Dewi Sekartaji.
Patung ini jadi perlambang kisah Panji Sumirang, yang berkembang di masa
Kerajaan Kediri. Panji yang dimaksud adalah Panji Asmarobangun yang menjalin
kisah cinta dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana.
Selomangleng berasal dari susunan kata, Selo = batu ;
Mangleng = menggantung. Jadi bisa diartikan batu yang menggantung. Celah yang
berlubang di batu andhesit ini dulu dianggap kawasan yang angker. Konon, ada mitos
yang berkembang di masyarakat, bahwa jangan sekali-sekali datang ke gua ini
dengan pasangan kamu. Sebab, nantinya jalinan cinta kalian tidak akan awet,
alias putus setelah pulag dari Gua Selomangleng.
Melongok ke dalam gua, beberapa petak dindingnya dipenuhi
relief yang menyerupai wajah manusia. Ini yang menambah kesan mistis dan angker
gua yang terbagi menjadi tiga ruang sempit itu. “Aku gak mau masuk ke dalam ah,”
kata salah satu teman, yang bertahan di mulut gua. Dia pun menolak ikut
berfoto-foto di dalam gua. Tapi di luar gua, dia tetap eksis dengan gayanya,
hehehe.. Selain gua, terdapat juga Museum Airlangga, kolam renang dan wahana
bermain di sekitar lokasi wisata Gua Selomangleng.
Final Step
25 menit sebelum KA Rapih Dhono tujuan Surabaya tiba, kami sudah sampai di Stasiun Kediri. Mbak Intan pun pamit lebih dulu, tidak menunggu keberangkatan kami, karena dia masih ada urusan keluarga. Kediri yang hari ini terik sekali, membuat kerongkongan terasa kering. Kerupuk pasir pemberian Mbak Ema, yang kucamil karena kelaparan, menambah kering kerongkongan. Minuman soda dingin pun jadi solusinya. Oh ya, aku hampir lupa. Soal oleh-oleh khas Kediri, kerupuk pasir adalah salah satunya, selain tahu kediri warna kuning yang sudah terkanal itu.
25 menit sebelum KA Rapih Dhono tujuan Surabaya tiba, kami sudah sampai di Stasiun Kediri. Mbak Intan pun pamit lebih dulu, tidak menunggu keberangkatan kami, karena dia masih ada urusan keluarga. Kediri yang hari ini terik sekali, membuat kerongkongan terasa kering. Kerupuk pasir pemberian Mbak Ema, yang kucamil karena kelaparan, menambah kering kerongkongan. Minuman soda dingin pun jadi solusinya. Oh ya, aku hampir lupa. Soal oleh-oleh khas Kediri, kerupuk pasir adalah salah satunya, selain tahu kediri warna kuning yang sudah terkanal itu.
Masih ada lagi pecel tumpang dan kerupuk bekicot. Nah,
yang terakhir ini aku penasaran, karena belum sempat mencicipinya. Kalau sate
bekicot dengan bumbu pecel, yang awalnya terasa geli untuk menyantapnya,
ternyata nikmat juga. Rasanya hampir sama seperti siput atau empal. Kenyal-kenyal
gimana gitu. “Emang enak ya?” tanya Fika lagi dengan muka sedikit kecut, karena belum yakin untuk menyantap
50 tusuk sate bekicot yang kami beli seharga Rp 16.000.
“Itu keretanya sudah datang,” ujarku kepada teman-teman,
sambil menunjuk ke dalam peron. Lima menit menunggu di dalam peron, akhirnya
kereta yang akan membawa kami berhenti bertualang di Kediri datang juga. Siang itu,
hujan tak mengantar kepergian kami kembali ke Surabaya. Peluh yang mengucur dan
garis bibir yang melengkung ke arah atas, mengiringi kegembiraan berkelana ala “mbambungpacker” kami di Kediri.
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar