Aku masih ingat dengan pertanyaan singkat Giska, seorang teman baru di kampus, di awal perkenalan kita sekitar 1,5 bulan lalu. Gadis berusia 24 tahun, lulusan jurusan bidan di Unair ini bertanya dengan cueknya. "Kamu umur berapa sih mas? udah married belum?" Karena tak (tampak) ada tendensi apa pun dalam pertanyaan itu, aku pun menjawab dengan santai dan tak canggung. "Aku dah umur 30 tahun lewat dikit. Dan belum kawin. Belum kepengen," jawabku singkat.
"Hah?!?! kamu udah 30 tahun tho. Kok belum nikah sih? Apa gak pengen?" tanya dia lagi, yang sebenarnya mengulangi pertanyaan di awal. "Kan udah aku bilang aku belum pengen nikah. Belum ada rencana ke sana," kataku sambil memberikan penekanan pada kalimat belum ada rencana. "Emangnya kenapa?" tanyaku balik kepada Giska yang giginya diberi pagar kawat. (entah kenapa harus dipagari? supaya tidak kabur kali yah tuh gigi-giginya).
"Hehehe..., kalau aku sih pengen banget nikah mas. Aku hijrah ke Surabaya ajah juga karena biar dekat ama tunanganku. Tapi gak tahu lagi sih sekarang. Soalnya kita lagi "break." Tapi aku pengen banget nikah, punya anak, lalu jadi ibu yang baik," jawabnya sambil menerawang. "Busyeeett..., lha kok gak kawin aja cepet-cepet. Beres kan, hehehe.." celetukku menimpali ucapannya.
Tak selang beberapa hari, dua orang teman lain di kelas, pada waktu dan tempat yang berbeda, juga "ber-statement" hampir sama seperti Giska. "Aku pikir lu dah married lho. Umur lu kan dah 30. Aku aja nikah begitu lulus kuliah (S1)," comment Mbak Elyn, yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua dari aku. Sedangkan Mbak Dini malah bilang, "aku umur segitu udah punya anak dua," ujarnya yang umurnya sama denganku.
Haduh..., kenapa sih orang-orang ini??? Emang ada yang salah yah dengan tidak atau belum menikah di usia lebih dari 30 tahun. Ada kah yang salah dengan menjadi lajang, jomblo, dan gak punya pacar di usia segini??? Atau jangan-jangan tidak memikirkan pernikahan dan belum mau menikah kala usia sudah 30 tahun lewat sedikit itu adalah dosa besar???
Emang gak boleh kalau aku memilih jadi "bupati", bujang kepala tiga puluhan...!!! Kenapa aku gak boleh jadi bupati, sedangkan para pejabat berebut jadi bupati??? (hehe.., bupati yang satu sih enak, ada jabatan, uang banyak, dielu-elukan rakyat, dihormati PNS kelas teri, sampai sering dapat salam tempel dari pengusaha lokal. Nah kalau bupati yang satu lagi, ini gak punya nilai jual tinggi, malah cenderung disebut bapuk, lapuk, atau malah kadaluarsa, hahahaha...)
Tiba-tiba, semua orang jadi serba tahu dan serba care. Udah, santai ajah kali... Kan orang tua sering bilang, kalau soal jodoh tuh yang ngatur Gusti Allah. Lalu, buat apa dipikir sampai kepala botak (sayang kan, soalnya rambutku tanpa mikirin nikah aja udah banyak yang rontok, ckckck...). Positive thinking aja deh. Sapa tahu emang belum waktunya punya pacar, belum waktunya nikah, dan belum waktunya ketemu jodoh, dan si Om Penguasa Jagad Raya masih berbaik hati kasih kesempatan buat kita membujang, happy-happy dengan hidup kita sendiri.
Aku gak merasa sendiri kok. Soalnya, di genk ku jaman SMA, dari 10 orang yang belum nikah ada 5 orang. Rata-rata mereka juga bupati. Satu-dua orang yang belum menikah emang kepikiran untuk segera mencari jodoh. Sisanya, santai-santai ajah. Teman-teman yang nyantai itu karena sibuk mengejar target hidup yang jadi prioritasnya. Salah satunya, sedang mengejar pendidikan dokter spesialis bedah di Unair, satu lagi menekuni kariernya di dunia perbankan. Sedangkan aku sendiri, masih pengen sekolah, bebas dan berpetualang.
Jabatan bupati bukan dominasi laki-laki. Perempuan pun dibolehkan kok memilih jadi bupati. Ini negara demokrasi bung! Perempuan juga punya hak yang setara. Setidaknya, ada lebih dari 10 teman perempuan semasa kuliah di Jogja yang kini usianya sudah 30 tahun, masih melajang. Alasannya juga sederet. Ada yang mengejar karier yang memang lagi bagus-bagusnya. Ada yang sempat akan menikah atau sudah punya hubungan serius tapi gagal di tengah jalan, dan sekarang masih dalam tahap mencari lagi pijakan yang tepat. Atau emang belum mau menikah karena masih menikmati hidup bebas, apalagi tak ada paksaan dari keluarganya.
Faktor yang terakhir, paksaan keluarga, ini memang jadi momok yang paling menyebalkan bagi para bupati. Emak-babe, om-tante, budhe-pakdhe, bulek-paklek, malah kakak-adik kita yang sibuk dan bingung tujuh keliling melihat kita belum ada rencana menikah. Biasanya, mereka tuh mulai sibuk menanyakan apa sudah punya calon? Kapan nih mau nikahnya? itu kalau calon udah kita tunjukin ke mereka. Atau mereka dengan sukarela menawarkan orang-orang yang dianggap capable and proper buat kita.
Embel-embelnya pasti bilang begini, "Udah..., cepetan nikahnya. Nunggu apa lagi sih," Ada lagi yang comment, "Aku malah nyesel kenapa nikahnya gak lebih cepet. Soalnya nikah itu enak kok," ujar beberapa teman laki dan perempuan yang menikah sebelum usia 25 tahun. Ciyus deh, rempong banget sih mereka (bahasa anak galauers jaman sekarang). Kita ajah yang jadi bupati nyantai kok.
Berdua itu mendua?
Seandainya ditakar, mana sih yang lebih untung atau lebih rugi. Jadi bupati atau menikah? Hahaha..., itu sama ajah dengan pertanyaan, duluan mana telur apa ayam. Jawabannya pasti relatif dan bergantung. Relatif bagaimana dan bergantung pada apa? Soalnya banyak banget kemungkinannya. Tiap orang pasti beda-beda hasilnya.
Apabila memilih melajang, apalagi sampai jadi bupati, siap-siap aja dijuluki perjaka lapuk atau perawan tua (lah kok mereka yakin yang diejekin itu masih perjaka atau perawan, kacian deh lu..!!). Belum lagi bakalan diceramahin ama keluarga, dari yang keluarga dekat sampai keluarga yang kita gak kenal dari mana hubungan keluarganya, soal kenapa kita sebagai manusia sosial harus menunaikan kewajibannya untuk menikah, dengan setumpuk alasan yang meyakinkan ala-ala seles kartu kredit.
Lain lagi jika menikah cepat. Kerugiannya tentu kita lebih awal kehilangan masa-masa bebas membujang, bebas berbuat apa saja tanpa butuh banyak pertimbangan pasangan (istri/suami) bahkan tanpa harus mengkompromikan dengan kebutuhan anak. Mau makan apa, mau dugem dimana, mau jalan-jalan kemana, mau berpenghasilan berapa, harus benar-benar dihitung. Kita harus bekerja lebih keras dan giat agar istri dan anak bahagia. Belum lagi harus berdamai dengan keinginan pasangan yang kadang 180 derajat bertolak belakang dengan kemauan kita. Tapi benefit-nya, kapan pun mau, ada sesorang yang bersedia (secara legal). Bahkan, mereka yang menikah, risiko terserang penyakit kanker lebih kecil ketimbang pria bujang dan perempuan lajang yang risikonya 17-18 persen lebih besar. (uppsss..., semoga kanker-nya adalah kantong kering yah).
Satu lagi yang paling gak enak kalau udah nikah. Kita susah olahraga mata, alias jelalatan melirik pemandangan yang lebih bening. Lirik sedikit, eh ternyata ada bini atau misua yang digandeng di samping kita. Flirting-flirting dikit pun jadi gak bisa. Beda kan kalau kita masih lajang, atau masih berpacaran, dan belum menikah. We feel free to flirting or seducing someone, hehehe. Nah kalo kita nekat, ujung-ujungnya malah mendua, meniga, atau malah selingkuh.
Menikah berarti berdua. Nah kalau mendua itu gimana? (walah kok malah puyeng dan njelimet nih obrolanya) Ada yang pernah komentar, dengan nada candaan, selingkuh itu bumbunya pernikahan. Kalau gak ada yang selingkuh berarti belum pas pernikahannya. (Nenek lu nyimeng, mbah lu salto!!! Jadi kalau menikah kita boleh selingkuh gitu?!?!)
Bibit-bibit selingkuh itu emang paling gampang dan cepat munculnya. Apalagi kalau di "rumah" si pasangan lagi jenuh-jenuhnya ditambah ada masalah internal yang melibatkan inharmonis kebutuhan dan keinginan atau sampai ke soal hubungan dengan mertua. Salah satu pasangan disibukkan dengan pekerjaan, sedangkan satunya bosan gak ada kerjaan, dan merasa terabaikan.
Faktor eksternalnya, kita mendapat teman baru, di yang lingkungan baru, yang sepertinya lebih menarik dan asyik diajak sharing dan curhat. Teman baru ini lebih menarik secara fisik atau inner beauty, atau sama-sama lagi kesepian. Mbah-mbah di kampung pernah berucap, "tresno jalaran soko nggelibet" (jatuh cinta lantaran dari sering bertemu). Malahan, dari pengamatanku, selingkuh sepertinya jadi trend yang mewabah dan terlihat jadi kebutuhan baru pasangan-pasangan muda. Dulu, selingkuh sering terdengar hanya dilakukan pejabat atau bos-bos yang kelebihan duit. Tapi sekarang, motif dan penyebabnya lebih fariatif.
"Gila. Kemarin sewaktu di warung, aku tiba-tiba disamperin ama cewek. Setelah dia pesan makanan, dia duduk dekat aku. Awalnya sih ngobrol tinggal dimana, kerja apa, sampai soal sudah menikah atau belum. Tahu-tahu dia cerita kalau suaminya pulang ke rumah 2 minggu sekali, karena kerjanya di Madura," ujar Setya, salah seorang anggota genk ku jaman SMA.
"Terus kenapa? Biasa kan obrolan kayak gitu," ujarku. "Iya sih. Tapi terus kita tuker-tukeran pin BB. Nah sampai sekarang dia itu terus BBM aku. Nada-nadanya sih pengen ngajak gituan (making love). Aku sih pengen juga, hehehe....," celetuk Setya yang sudah beristri dan punya dua anak.
"Gendheng kon!!! Dia kan wis nikah tho," celotehku. "Makanya itu, dia tuh pengen gituan karena ketemuan karo suaminya baru beberapa minggu sekali. Kayaknya dia juga udah biasa deh ama orang lain," jelas Setya sok tahu, yang emang punya tampang playboy dan memikat cewek-cewek sejak jaman SMA.
Selingkuh & menyelingkuhi pun terjadi di kampus. Berawal dari masa matrikulasi selama sebulan, tumbuhlan benih-benih cinta lokasi diantara teman sebangku. Menurut catatan data survey pandangan mataku, ada dua kasus benih mendua yang terendus. Si laki-laki sudah menikah dan punya satu anak balita, sedangkan si perempuan adalah gadis muda yang menarik dan siap menikah. Satu lagi, pasangan yang sama-sama sudah punya suami dan istri di rumah, tapi terlihat akrab saat di kampus. Meski beda jurusan, mereka kerap menyempatkan bertemu di sela-sela jam kuliah.
"Pokoknya saya ingatkan ya. Meski kuliah, jangan sampai keluarga dikorbankan. Jangan sampai ada yang cerai. Soalnya sudah pernah terjadi," ujar seorang dosen mengingatkan para mahasiswanya, di awal masa perkuliahan. Meski tidak menjelaskan apa penyebab perceraian itu, tapi jawabannya mengarap pada perselingkuhan.
Weleh weleh weleh..., jadi makin runyam kan pilihannya. Mau menikah dengan risiko "main api" atau melajang dengan risiko jadi ejekan perjaka lapuk. Walau keduanya sama-sama bakal jadi bahan gunjingan, sepertinya aku pilih jadi bupati aja deh. Bupati terlihat lebih terhormat, meski tak nikmat dilihat. Melajang tak harus olahraga jantung karena main petak umpet supaya aksi perselingkuhan tetap terbungkus rapi dan cantik. Melajang pun tak perlu menyakiti dan tersakiti. Paling-paling siksaan batin karena kok sampai setua ini belum laku-laku, wakakakaakakk....
Sekali bupati tetap bupati, hahahaha... Berfikir positiflah, sapa tahu besok jodohnya malah bule Perancis, yang kalau jalan bareng bisa buat ngiri teman-teman yang udah buru-buru nikah muda. Sapa suruh nikah cepat-cepat!!! hahaha...
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar