Nesser Ali (Methieu Almaric) membayangkan tiga cara untuk bunuh diri. Mulai
dari yang tragis, dengan tidur di rel lalu dilindas kereta api yang melintas
kencang; cara yang romantis dengan meminum puluhan pil tidur; atau cara klasik
dengan menembakkan pistol di kepalanya. Tapi dia ngeri dengan semua cara itu. Meski
begitu, 8 hari kemudian Ali sempat
bertemu dengan malaikat pencabut nyawa, dan akhirnya pun mati lalu dimakamkan
pada musim dingin yang berselimut salju.
Apa alasan Nasser Ali, seorang violist ternama asal Teheran itu memutuskan
untuk mengakhiri hidupnya? Dalam film “Poulet aux Prunes” penonton diajak mengetahui
rentetan sebab-akibat kisah dan konflik hidup Ali yang disajikan apik, unik, imajinatif,
dan khas gaya-gaya film Prancis. Dari akhir film yang berdurasi 90 menit itu,
kesimpulan sederhananya adalah, cinta tak harus memiliki, maka hargailah apa
yang sudah kau genggam agar tak ada penderitaan dan penyesalan dalam batinmu.
Poulet aux Prunes (ayam dengan buah plum), makanan favorit Nasser Ali, merupakan
judul film pertama yang diputar pada acara Nuit Blanche atau white night di
Institut Francais Indonesia (IFI) Surabaya. Malam itu, panitia menjanjikan akan
begadang semalaman untuk menonton film. Dan benar juga, malam itu dari jam
19.30 hingga 02.30, ada 10 film, kebanyakan film independen jadi suguhan
penikmat film di Surabaya.
Selain Poulet aux Prunes, ada film komedi berbahasa Prancis “Holliwoo” yang
berhasil mengocok perut penonton malam itu. Sederet film horor bergenre slasher
sempat membuat membuat kami bergidik menahan ngeri plus nyeri melihat darah
muncrat kemana-mana. Dua film horor/thriller Indonesia juga bikin penonton
menjerit, yaitu WAD dan satu lagi aku lupa judulnya, tapi bercerita tentang
seorang anak kecil yang ikut terkubur dalam peti mati ayahnya yang sudah mati.
Sebagai film terakhir, INFIS (panitia acara yang sudah menyelenggarakan
Nuit Blanche atau Begadang Surabaya) menyuguhkan “Me + Surabaya” film projek
yang didanai Kementerian Luar Negeri Indonesia. Di film ini, 8 seniman asal
luar negeri menjadi pemeran utamanya. Alur ceritanya loncat-loncat, dari satu sub-cerita ke sub-cerita lain, yang nanti mengerucut di akhir cerita. Meski susah ditebak maksud filmnya (tipe-tipe
film indie), kesimpulan jalan ceritanya adalah ada empat agen perempuan yang
berusaha memberantas penjahat-penjahat asing (semuanya laki-laki) bersembunyi
di Surabaya.
Sayangnya, acara nonton film ini cuman berlangsung sampe jam 2-an dini
hari. Padahal tahun lalu sampai jam 5 pagi. Hehehe..., soalnya tahun lalu kata
panitia penontonya pada teler (pusing) semua karena begadang semalaman hanya
karena nonton film.
Promosi
Secara rutin, IFI Surabaya menyuguhkan film-film dan pertunjukan seni yang
berkualitas. Salah satunya yang selalu digelar tiap tahun adalah festival musim
semi, bulan Juli. Untuk pemutaran film, IFI Surabaya tak mau kalah dengan IFI
Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Tiap bulan, IFI Surabaya selalu menayangkan
film-film Prancis yang tak mungkin diputar di bioskop Indonesia. Bahkan, CD
film-film itu pun sulit didapatkan di pasaran. Diantaranya Q-movies yang saat
ini sedang digelar di Jakarta.
Agar tahu info lengkap tentang agenda pemutaran film atau pertunjukan
seni di IFI Surabaya, gak ada salahnya lho buka situs IFI atau gabung dan
belajar bahasa Prancis di IFI. Parlez francais
est amusant..!! Kalau mau gabung dan belajar bahasa Prancis, langsung aja
ke komplek AJBS, Kampus IFI Suarabaya (daerah Nginden). Dengan belajar bahasa Prancis, setidaknya kamu bakal menguasai bahasa internasional lain, selain bahasa Inggris. Jadi, kalo besok sempat melancong ke benua Eropa, gak perlu repot kan cari penerjemah. Soalnya, orang Prancis (katanya) gak mau pake bahasa Inggris kalo di negaranya sendiri (hehehe.., udah pede kali yah kalo bahasanya emang mendunia). Menurut info, untuk
belajar bahasa dan budaya Prancis di IFI sekitar Rp 1,4 juta (50 jam/kelas ekstensif)
atau Rp 2,5 juta (140 jam/kelas intensif). Lengkapnya sih datang aja langsung
ke IFI gan...
- yuda thant -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar