Sejak April,
lokalisasi Tambak Asri ditutup secara resmi oleh Pemerintah Kota Surabaya. Penutupan
ini mengakibatkan sekitar 350 pekerja seks komersial (PSK) dan 96 mucikari di
96 wisma menghentikan transaksi seks komersialnya. Target selanjutnya adalah
Dolly, ladang prostitusi terbesar di Jawa Timur. Jika rencana besar Pemkot
Surabaya terealisasi, itu berarti PSK di Surabaya tidak lagi punya tempat mangkal.
Lalu, mereka ada dimana?
Pertanyaan
semacam itu pasti akan berkecamuk di otak kita. Sebab, tidak dimungkiri, sejak
zaman dahulu, penikmat jasa bisnis esek-esek ini akan terus menguber kemana saja
si pemberi jasa berada. Maka, besar kemungkinan akan muncul spot-spot baru yang
bentuknya terselubung, masuk ke lingkungan perumahan, perkampungan, apartemen, hotel
atau motel melati, sampai ke tempat-tempat sepi nan sempit seperti di kuburan
atau pojok-pojok terminal. Pembeli tidak perlu lagi datang ke lokalisasi, mereka
cukup buka internet, atau dengan saling kontak lewat SMS dan produk-produk
jejaring sosial seperti Facebook, WhatsApp, Line, BBM, dan lainnya.
Tujuan Pemkot
Surabaya menutup seluruh lokalisasi prostitusi itu sangatlah mulia, yakni
memutus rantai penularan HIV/AIDS dan menyadarkan PSK agar meninggalkan pekerjaannya.
Mereka pun dibekali materi spiritual dan uang Rp 4,7 juta untuk modal usaha, biaya
hidup selama tiga bulan pasca-penutupan lokalisasi, dan ongkos memulangkan
mereka ke kota asalnya.
Namun,
apakah susutnya jumlah PSK sejalan dengan penurunan jumlah kasus HIV/AIDS di. Sebab,
tren temuan kasus HIV/AIDS meningkat tiap tahunnya. Data Dinkes Kota
Surabaya menyebutkan tahun 2010 ada 705 kasus dan 2011 ditemukan 811 kasus,
dimana 89 persen penularannya melalui hubungan seks. Diperkirakan, angka itu
bukanlah jumlah riil karena adaya fenomena gunung es dalam kasus HIV/AIDS.
Penutupan
lokalisasi prostitusi adalah program populis. Dukungan dan simpati, juga
pujian, datang dari berbagai pihak. Dengan adanya lokalisasi, sejatinya
memudahkan Dinkes, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), ataupun LSM memantau
penyebaran dan penularan juga pencegahan HIV/AIDS. Dan, promosi kesehatan,
seperti bahaya AIDS maupun IMS serta penggunaan kondom bisa fokus dan tepat
sasaran.
Bayangkan, ketika
tidak dilokalisasikan, kemungkinan penularan meluas dan sulit dikontrol. PSK
yang positif mengidap HIV, jika dia hijrah ke kota lain bakal memperlebar
jaringan penularannya. Di satu sisi, butuh waktu lama menyadarkan PSK untuk
lebih peduli pada kesehatan reproduksinya, menyadarkan perilaku hidup sehat,
dan perawatan intensif bagi yang positif HIV. Padahal, mereka hidup dalam satu
komunitas, tapi stiga negatif dan rasa malu tetap jadi kendala memeriksa
kesehatannya atau melakukan voluntary
counseling and testing (VCT).
Tersebarnya
PSK menyulitkan petugas puskesmas mengadvokasi penggunaan kondom dan VCT
berkala. Itu karena kesadaran PSK melakukan VCT rendah, maka bila tempat
tinggal atau kerjanya berpindah-pindah, upaya intervensi VCT berkelanjutan akan
lebih sulit dilakukan. Adapun salah satu upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di
kawasan prostitusi dengan penggunaan kondom. Sayangnya, penggunaan kondom,
terutama di kalangan PSK dan kliennya, juga rendah. Menteri Kesehatan Nafsiah
Mboi pernah mengatakan pemakaian kondom di Indonesia baru 35 persen, padahal
tahun ini targetnya 45 persen. Salah satu penyebab adalah rendahnya posisi
tawar PSK di mata kliennya. Posisi itu akan makin rendah jika PSK beroperasi di
luar area prostitusi.
Di Thailand,
di mana prostitusi merupakan bisnis yang segar, tapi angka kasus baru dan
kematian akibat HIV/AIDS selama 2005-2010 menurun tajam. Data dari Kantor
Epidemiologi Thailand, dari 23.339 kasus jadi 5.058 kasus, dan dari 4.389
kematian menjadi 673 kematian. Semua itu karena kampanye kondon 100% di kawasan
prostitusi maupun di komunitas publik dilakukan berkelanjutan. Sanksi diberikan
kepada pemilik tempat prostitusi jika didapati PSK yang bekerja di sana positif
mengidap HIV.
Solusi Pemkot
memberdayakan PSK dengan memberi keterampilan dan modal usaha memang tepat.
Namun, itu butuh proses, karena persepsi PSK yang biasa mendapatkan uang dengan
cara mudah harus diubah. Ketersediaan lapangan kerja bagi eks-PSK harus
disiapkan, bukan sekadar memulangkan mereka ke kampung halaman. Sebab, alasan
mereka merantau ke kota besar, dan terjebak dalam dunia prostitusi, karena
alasan ekonomi dan tidak ada lapangan kerja di kampungnya.
Pemkot Surabaya
perlu menyiapkan solusi lain, seperti bekerja sama dengan semua pihak membentuk
tenaga kesehatan, kader kesehatan dan pelayanan kesehatan HIV/AIDS yang merata
di tiap kecamatan bahkan saling terintegrasi dengan kota/kabupaten lain. Kemudian,
mempertebal kepercayaan PSK kepada kader kesehatan yang akan membantunya
mengakses layanan kesehatan. Dan yang terpenting, memperbesar kesadaran dan
kepedulian PSK pada bahaya HIV/AIDS dan gerakan 100% kondom pada PSK saat
bertransaksi seks. Sebab, tujuan utamanya adalah mengurangi munculnya kasus
baru dan menekan prevalensi HIV/AIDS di Surabaya.
(T.H. - 2013)
--yudathant--
Bro, mbak natri di lokalisasi lima lima nanya tuh.....^_^
BalasHapus@azzhra, hahahaah..., yang di "lima-lima" konon katanya kan afkiran dari dolly mas bro, hehehe..
BalasHapus