Akhir pekan lalu, sahabat baik
ku melontarkan pertanyaan,
"Kamu daftar PNS gak? Daftar yuk", ajak dia sekaligus. "Memang
kamu mau daftar apa? Jawabku. “Aku
mau daftar ke Kementerian Kelautan, sesuai dengan kuliah aku dulu,” jawabnya. “Kalau
gak salah pendaftaran nanti dibuka mulai 1 September. Ayo kita siap-siap. Aku
mau legalisir ijazah dulu,” ajaknya antusias lagi.
Kalau "matahariku" ini niat hijrah menjadi PNS, berarti dia harus melepaskan
kursi empuknya di bank swasta yang dia rintis sejak 6 tahun lalu. Entah apa
alasannya ingin menjadi pegawai negara, tapi yang pasti tawaran itu menggoyahkan
hati ku. Jadi PNS a.k.a pegawai negeri sipil, emang aku mampu? Tanya hati kecil ini.
Sejak Juli kemarin, kehebohan penerimaan PNS sudah terasa. Seorang teman
di kampus pun sengaja menunda balik ke Surabaya karena dia berniat mendaftar
dan mengikuti tes CPNS di kotanya, di serambi Mekah. Katanya, lumayan lah
coba-coba, siapa tahu tembus, kilahnya. Seorang teman kampus lainnya, sibuk
menanyakan di mana alamat BKD (badan kepegawaian daerah) Surabaya dan Jatim. Saat
kutanya untuk apa, dia menjawab “Mau lihat formasi (PNS yang ditawarkan) mas
bro,” ujarnya.
Malahan, tadi pagi, kakak perempuanku memposting daftar alamat situs
seluruh kementerian yang membuka lowongan PNS tahun ini. Dia menyarankan aku
mendaftar CPNS, sembari menamatkan pendidikan pascasarjana. Alhasil, aku pun
mulai berselancar di internet mencari informasi tentang penerimaan CPNS tahun
ini.
Segudang alasan membuat orang berbondong-bondong mendaftar sebagai pegawai
negara. Mulai dari jaminan dan tunjangan hari tua, opsi tidak akan dipecat atau
dirumahkan (selama tidak melanggar aturan), biaya hidup yang ditanggung negara,
kerja tidak berat dan tidak perlu dikejar target, santai tapi digaji, sampai
kesempatan mendapatkan beasiswa
pendidikan. Lalu apa motifku?
Sejak lulus kuliah S1, di otak ini sudah tertanam untuk tidak ingin menjadi
PNS. Kalaupun dulu sempat mendaftar dan ikutan test di Kementerian Luar Negeri,
itu adalah syarat karena aku lulusan hubungan internasional dan test-nya
ramai-ramai bareng dengan temen satu kampus. Tidak ada niat sama sekali menjadi
PNS, sebab dalam pikiranku, PNS itu tidak berkembang. Aku bukan orang yang bisa
tenang duduk di belakang meja, gak bisa diam dan santai-santai, juga gak suka
terlalu ngikutin apa maunya atasan. Begitulah persepsi tentang PNS yang
menjalar di otak ini.
Dari pengalaman di lapangan, selama kerja 7 tahun di media massa, aku
melihat bahwa kerja mereka (maaf) tidak becus. Hanya sedikit dari PNS yang benar-benar
bisa bekerja, tahu caranya bekerja, dan mengabdi pada pekerjaannya. Kalau mungkin
dijumlah, tidak sampai 20 persen yang benar-benar terampil dan mampu bekerja baik.
Kinerja buruk ini bukan hanya terjadi pada pejabat berlabel eselon sekian, tapi
juga pada anak buahnya. Yah, seperti peribahasa lah, “guru kencing berdiri,
murid kencing berlari.”
Contoh gampangnya, belum jam 12 siang, seorang pegawai sudah “kabur” dengan
alasan menjemput anaknya. Ditanya kapan baliknya, tidak tahu. Malah, belum jam
4 sore, dia juga sudah pulang. Kerjaan di kantor, kalau gak ngobrol, ngetik
sebentar, lalu duduk santai. Kerja mereka juga lamban. (Bukan aku banget!)
Tapi, aku pernah kenal sejumlah pegawai yang benar-benar mengabdi. Salah satunya
Pak Ali, beliau kepala dinas pertanian di Cirebon. Biarpun anak buahnya pulang sebelum
jam 4, dia tetap pulang jam 5. Biarpun habis meninjau lahan sawah yang
terserang hama, dia pasti balik ke kantor untuk membuat laporan. Jadi, dia
bukan hanya tahu, tapi juga memahami dan mendalami pekerjaannya.
Kekhawatiran aku tentang kinerja PNS ini memang terjawab dengan pernyataan
Wamen Pemberdayaan Aparatur Negara Eko Prasojo, bahwa masih banyak PNS yang kinerjanya
tidak baik, belum memenuhi standar kompetensi, dan tidak bekerja fungsional. Saat
ini, jumlah PNS hampir 4,5 juta orang yang tersebar di lembaga pemerintahan
pusat hingga daerah. Dana yang digelontorkan untuk membiayai para PNS itu lebih
dari Rp 1.200 triliun per tahun. Ngomong-ngomong, gaji PNS mulai dari golongan
1a sampai 4e itu dari Rp 1,3 juta sampai Rp 5 juta.
Tiap tahun, gaji mereka selalu dinaikkan, dan malahan akan disesuaikan
dengan gaji pegawai swasta. Alasannya, penyetaraan untuk meningkatkan kinerja
mereka, sehingga tidak ada lagi PNS yang santai-santai dan menunda
pekerjaannya. Hal ini tentu akan menimbulkan kontroversi dan tantangan yang
tidak mudah. Sebab, yang diubah adalah perilaku PNS yang selama ini sudah
tertanam di pola kerja mereka. Pegawai baru mungkin saja bisa berubah, lalu
bagaimana dengan pegawai lama, yang punya status dan jabatan di daerah, ini
sangat susah dan butuh kerja keras. Menurut aku, pemerintah harus
merealisasikan aturan pensiun dini bagi pegawai yang tidak credible atau yang tidak sesuai standar.
Apa masih mau daftar jadi PNS? Sebenarnya, bokap dulu juga PNS, keluarga
bokap juga beberapa yang PNS, tapi hasrat jadi PNS belum membuncah. Lalu, kalau
ditanya motif jadi PNS, mungkin aku bakalan menjawab untuk mengabdi, tentu saja
mengabdi dengan caraku sendiri, hehehe... Aku mau jadi PNS asal ritme kerjanya
seperti pegawai swasta, dan sistem renumerasi-nya juga seperti perusahaan
swasta. Maksudnya, gaji diberikan berdasarkan kinerja, bukan sekadar daftar
hadir dan lama kerja. Sebab, daftar hadir bisa dimanipulasi, seperti daftar
hadir di kelas waktu kuliah, hehehe...
Ohya, sebelum mulai mendaftar, kata teman, siapkan dulu syarat-syarat yang pasti
dibutuhkan untuk mendaftar test CPNS, diantaranya: ijazah dan transkrip nilai
yang dilegalisir, foto diri (gak usah pake gaya ala cherrybelle yah) 4x6, surat keterangan sehat dari dokter
pemerintah, dan kartu kuning atau surat keterangan pencari kerja dari depnaker.
Well, aku bakal coba aja deh, kan nothing to lose. Siapa tahu, ladang
merumput aku selanjutnya adalah lembaga pemerintahan, dan menjadi pengabdi negara. Bukan sekadar beban negara, tapi mencoba memberikan dan melayani yang terbaik untuk negara, hehe.., sok idealis. ^_^
-yudathant-
Sepakat. Mari menjadi PNS yang menjunjung tinggi etos kerja! haha...
BalasHapus