Setelah setahun lamanya, akhirnya aku kembali ke
tanah Papua. Tepatnya 15 bulan aku meninggalkan bumi Cenderawasih ini. Yah,
waktu yang tidak sebentar untuk sebuah cerita kehidupan seorang anak adam.
Kali ini, aku kembali tidak untuk sejenak. Rencananya
hanya 4-5 hari saja, untuk membantu proyek seorang teman melakukan survei media
di Papua bagian selatan. “Ada lima daerah yang rencananya kita mau datangin
mas,” ujar Ika penuh semangat melalui teleponnya. Tapi ada kemungkinan tidak
semua tempat akan kita datangi, lihat situasi dan kondisi juga sih,” tambahnya.
Setelah menentukan lokasi dan waktu keberangkat,
Sabtu sore aku berangkat dari Juanda, Surabaya menuju ke Jakarta untuk bertemu
Ika dan berangkat dari sana menuju ke Jayapura, Papua. Perjalanan Surabaya-Jakarta-Jayapura
cukup melelahkan. Dari jam 4 sore berangkat, kemudian transit lima jam di
Soekarno-Hatta, akhirnya pesawat Lion Air membawa kami menumpuh perjalanan lima
jam di udara menuju Jayapura.
Sekitar pukul 07.00 waktu setempat kami berdua
selamat tiba di Bandara Sentani, Papua. “Wuah.., aku menghirup udara dan
menginjakkan kaki lagi di tanah Papua,” batin ku riang saat turun dari pesawat.
Kondisi bandara sudah lebih bersih dan rapi dibandingkan 1,5 tahun lalu saat
aku singgah di Bandara Sentani untuk menuju ke Merauke.
Projek Ika kali ini adalah menemui sejumlah
jurnalis di tanah Papua untuk melakukan survei media. Jadi, aku akan membantunya
mewawancara sekaligus menganalisis hasil wawancara mendalam kami. Gak terlalu
susah, tapi gak gampang juga. Sebab, waktu untuk ketemu dengan para jurnalis
ini tidak bisa pagi atau siang, sebab mereka sedang memburu berita. Jadi,
kebanyakan bisa dilakukan siang menjelang sore, atau malam hari.
Terlepas dari proyek Ika, aku ingin berbagi
sedikit tentang sejengkal tanah Papua yang kami sambangi kali ini. Dimulai dari
Sentani dan berakhir di Merauke.
Sentani
Kota Sentani adalah salah satu kota teramai di
Provinsi Papua. Distrik ini merupakan ibu kota dari Kabupaten Jayapura, yang letaknya
sekitar 40 km dari Kota Jayapura. Sentani merupakan lokasi bandara utama di provinsi
ini, dan sebelum mendarat di bandara, kita akan disuguhi keindahan Danau
Sentani yang menakjubkan. “Jepret-jepret-jepret...,” jangan lupa memotret danau
ini dari ketinggian.
Sialnya, saat kami datang, Festival Danau Sentani
belum dimulai. Rencananya masih dua pekan lagi dari saat kami datang, yakni
tanggal 19-22 Juni. Padahal, kami di Papua hanya 4-5 hari, jadi bakal tidak
sempat menikmati salah festival budaya di Papua yang sudah menjadi agenda
nasional di tiap bulan Juni ini.
Dalam FDS, akan ditampilkan beragam adat-istiadat
unik suku yang tinggal di sekitar Danau Sentani, maupun suku lain di tanah
Papua. Danau ini sendiri terletak di atas ketinggian 75 meter di atas permukaan
laut (mdpl) dengan luasnya sekitar 245.000 ha dengan latar pemandanan
Pegunungan Cycloops. Terdapat sekitar 22 pulau-pulau kecil yang tersebar di
Danau Sentani dengan 24 kampung adat yang ada di sekitar danau. Perpaduan gunung
dan danau inilah yang membuat keindahan Danau Sentani layak dikunjungi.
Tari-tarian, nyanyian, dan cerita rakyat adalah
suguhan utama dalam FDS. Salah satu tarian yang jadi daya pikatnya adalah
tarian perang felabhe. Namun yang tak kalah menarik adalah berlayar
mengelilingi Danau Sentani. Wisatawan seperti kita bisa menginap di hotel atau
penginapan di Kota Sentani, atau di Kota Abepura, yakni kota antara Sentani dan
Jayapura. Di kedua kota ini sudah ramai pertokoan dan hotel, jadi tak perlu
khawatir untuk mencari semua kebutuhan. Semua yang ada di tanah Jawa, bisa kita
jumpai di Sentani maupun Abepura. Tarif hotel memang sedikit mahal, mulai dari
Rp 400.000-an, untuk kamar dengan fasilitas bintang satu.
Untuk bahan informasi. transportasi dari Jawa menuju Papua biayanya memang sedikit mahal. Beruntung kami kemarin dapat tiket dengan harga yang relatif murah sewaktu berangkat, yakni Rp 1,8 juta dari Jakarta-Merauke. Tapi, sewaktu pulang, tarif pesawatnya melonjak mencapai Rp 2,6 juta per orang (Merauke-Jakarta). Kadang, jika musim liburan, seperti natal dan lebaran, harga tiket bisa menembus Rp 3 juta sekali berangkat. Biaya transportasi memang paling menguras dompet jika plesir ke tanah Papua ini. Itu baru ongkos trasportasi Jakarta-Merauke. Untuk mencapai distrik dan kota-kota lain di Papua, 75 persen masih harus ditempuh dengan jalur udara, karena jalur daratnya belum tersambung.
Merauke
“Dari Sabang sampai Merauke, berjajar
pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia..,” sebuah lagu
nasional yang dulu sering aku nyanyikan saat masih duduk di bangku SD,
tiba-tiba mencuat dalam memori ini kala kaki ini menginjak landasan Bandara
Mopah, Merauke.
Yup.., kota kedua yang kami singgahi adalah
Merauke. Sejak dai kecil, yang aku kenal dari Papua adalah Merauke. Karena Merauke-lah
yang selalu berkumandang dalam lagu “Dari Sabang sampai Merauke” karya R
Suharjo. Coba, kamu masih ingat gak sambungan dari lagu yang aku dendangkan di
atas??
Konon, nama Merauke ini berasal dari kata "Maroka ehe," yang artinya ini sungai Maro, yakni nama sungai besar yang ada di Merauke. Kata itu muncul setelah terjadinya dialog antara orang Belanda yang pertama kali mendarat di Sungai Maro tahun 1902 dan bertemu dengan penduduk lokal. Mereka bertanya nama daerah ini, dan dijawab "Maroka ehe."
Wilayah di ujung timur Indonesia ini menjadi
destinasi kami. Dibandingkan dua tahun lalu, jelas banyak kemajuan yang
terlihat. “Bupatinya sudah ganti. Yang sekarang lebih bagus,” ujar salah
seorang rekan jurnalis. Ya. Kalau aku bandingkan dengan dua tahun lalu,
sepertinya kondisi kota jauh lebih bersih dan ramai. Meski demikian, tidak
banyak terlihat lalu lalang wisatwan di kota ini. Merauke mungkin saja belum semenarik
Raja Ampat atau Danau Sentani. Namun, Merauke menawarkan keindahan alam savana dan
rawa yang menantang nan eksotis di Taman Nasional Wasur.
Di TNW terdapat ribuan jenis burung, bahkan
burung-burung dari Benua Australia yang bermigrasi untuk mencari makan di
daratan Wasur. Buaya, rusa, dan walabi (sejenis kangguru tanah yang ada di
tanah Papua) adalah satwa liar yang bisa dijumpai di TNW. Jadi, bagi Anda yang
menyukai hobi mengamati burung dan satwa liar, Wasur adalah tempatnya. Untuk menjelajahinya,
Anda butuh mobil dobel gardan yang banyak disewakan seharga sampai Rp 2 juta
per hari, yang sudah termasuk sopirnya.
Salah satu yang unik lagi adalah Tugu Nol Kilometer,
di Distrik Sota. Jika belum singgah ke tugu ini, berarti Anda belum sah datang
ke Merauke. Jaraknya memang cukup jauh, sekitar 30 km, melintas sebagian kecil
TNW, melintasi jalan trans Papua yang menuju Boven Digul. Di sepanjang
perjalanan menuju Sota, mata Anda akan dimanjakan dengan deretan apartemen
rumah semut, atau yang lazim disebut musamus. Aku sebut apartemen karena
bentuknya memang mirip sekali dengan gedung apartem di kota-kota besar lengkap
dengan kamar-kamar tempat tinggal semut dan labirin yang ruwet. Tinggi musamus
ini ada yang sampai 2,5 meter. “Woowww...” Bayangkan, yang membuat itu semut
lho!!
Setelah pantat sedikit panas, karena perjalanan
1,45 jam tanpa henti menuju Sota, akhirnya kami melihat tugu yang menjadi
perbatasan Indonesia dengan Papua New Guine (PNG). Jangan bayangkan tugu yang
dimaksud adalah tugu yang besar seperti tugu monas atau tugu jogja. Tugu ini
sangat sederhana sekali. Jalan yang memisahkan Indonesia-PNG pun bukan jalan
raya besar, tapi jalan kampung, sedangkan di wilayah PNG malah jalan setapak.
“Orang-orang PNG sering datang ke sini untuk
belanja. Kalau bukan hari libur, biasanya pasar ramai,” ujar salah seorang
bapak-bapak (penduduk lokal suku Marind) yang bertugas menjadi penjaga di
kawasan tugu itu. Konon, banyak juga ojek sembako yang lalu lalang
Indonesia-PNG. Ojek ini mengantar sembako dari Indonesia ke
perkampungan-perkampungan di PNG. Tukang ojeknya kebanyakan orang Jawa, yang
sudah lama menetap di Merauke.
Anyway , ada satu kalimat yang
tertulis di bangku di perbatasan, yang menarik perhatianku. Yaitu “Izakod
Bekai Izakod Kai,” yang artinya satu hati satu tujuan. Kalimat sederhana, tapi sarat makna bagi bangsa
kita yang saat ini sepertinya kehilangan rasa kesatuan untuk membangun
bangsanya sendiri. (duh..., kok tiba-tiba jadi nasionalis yah, hehehe..)
Mengingat lagi lagu “Dari Sabang sampai Merauke,”
aku jadi penasaran dengan Kota Sabang. Sebab, ujung timur Indonesia sudah aku
datangi. Saatnya, ujung barat Indonesia menjadi destinasi berikutnya, hehehe...
Sabang, here I come...!!
-yuda thant-
Papua is always be a magical word to me. Thanks for accompanying me. May Lord bless Agustinus and his family.
BalasHapusIzakod Bekai, Izakod Kai.
Best,
Ika