"Kok hp-nya sibuk terus. Aku telpon-telpon gak bisa-bisa. Lagi nelpon siapa?" tanya Ang kepada Wu. Dengan sedikit gugup, Wu menjawab "Barusan Abah telpon, jadi ngobrol lama." Gak mau kalah, karena merasa curiga, Ang bertanya lagi, "Beneran kamu tadi ditelpon Abah?." Wu kembali menimpali "Iya kok. Abah yang telpon."
Karena belum yakin, lagi, Ang mengorek jawaban yang sejatinya dari Wu. "Yang bener? soalya aku lho barusan nelpon Abah tanya kabar kamu," Deg..., seperti derit belati yang menghujam ke jantung hati Wu. Hening sekian detik pun mengudara dan mengisi kekosongan sinyal di antara dua telepon seluler yang berjarak 95 km. Tak ada yang bersuara, baik Wu maupun Ang, yang diselimuti tirai kedustaan dalam jalinan asmara mereka.
Hubungan kedua insan ini, salah satunya temanku, sedang bergulir di papan kayu jungkat-jangkit yang lapuk. Naik-turun, menunggu waktu untuk retak dan terbelah berkeping-keping. Lagi-lagi, kesetiaan dan pilihan adalah penyebabnya. Bumbu-bumbu kebohongan lah yang meperuncing kenikmatan gelora cinta segitiga itu.
Wu, tak bisa lagi berdusta. Kebohongan kecilnya soal siapa yang menelpon, terbongkar! Padahal, Wu sudah susah payah mencoba menutupi siapa di balik telponnya saat Ang, kekeasihnya, belasan kali mencoba menelpon. Dana, lelaki yang mencuri hati Wu selama 4 bulan terakhir, adalah yang sedari tadi berbicara penuh kasih kepada Wu dari ujung telpon di tempat lain di kota yang sama.
Bukan sekali Wu berbohong. Belasan, atau mungkin sudah puluhan kebohongan yang dia ciptakan untuk menutupi jejak kisah kasihnya yang terlarang dengan Dana. Berderet skenario Wu siapkan demi kisah cintanya yang entah dimana ujungnya. Bohong yang satu, menutup bohong yang sebelumnya. Dusta yang tadi, akan ditutup dengan dusta yang lainnya nanti.
Bohong memang asik. Membuat adrenalin yang mengalir di hati hingga otak menegang. Akal berpikir lebih kreatif, dan jantung berdetak lebih kencang saat bibir ini bercuap kata dan kalimat dusta. Entah apa alasan di balik dusta itu, bohong membuat hidup lebih berwarna, menantang, dan penuh jebakan setan. Berbohong juga kadang menjadi candu yang sulit untuk dilepaskan. Candu yang nikmat dilakukan, namun berakhir pada kesakitan yang menyesatkan.
Sssttt..., mengapa berbohong?
Pasti ada sesuatu yang ditutupi, yang tak ingin orang lain tahu, yang bukan sepatutnya dilakukan, bentuk kesalahan, pelanggaran yang tak boleh diulang, dan atau melindung hal yang tak ingin orang lain nikmati.
Besar atau kecil kadar bohong, tetap saja namanya berdusta, berkata atau bersikap tak jujur. Ingat tidak dengan dongen dari negeri Menara Pissa, berjudul Pinokio. Hidung bocah kayu ini bertambah panjang setiap dia berbohong. Semakin menumpuk kebohongan yang dibuat, makin panjanglah hidung kayunya. Namun, saat kejujuran yang disampaikannya, hidungnya akan kembali normal.
Ternyata, teori itu bukan dongeng. Penelitian dari Universitas Granada menyebutkan adanya pinocchio effect, saat orang berbohong. Yang dimaksud efek ini adalah, meningkatnya suhu di hidung akibat rasa gelisah dari berbohong. Selain itu, daerah otot orbital (penggerak bola mata) di sudut mata juga akan bila seseorang berbohong. (Mata emang gak bisa berbohong, "you can see the real truth from his eyes" hehe..)
Bukan hanya menyakitkan perasaan, penelitian juga mencatat bahwa bohong memberi pengaruh buruk pada kesehatan. Hasil penelitian di Universitas Notre Dame, pada 110 orang yang diwawancarai dan uji polygraph, menunjukkan orang yang berbohong lebih gampang sakit kepala, sakit tenggorokan, dan mudah cemas dan ketegangan, dibandingkan yang berkata jujur. Demikian pula kesehatan mental orang yang berbohong akan mengalami gangguan, akibat tumpukan stress dan depresi dari tiap kebohongan.
Tekanan jiwa akibat bohong memicu neurosis (gangguan jiwa) hingga gangguan fisik akibat kejiwaan (psikosomatik). Lazimnya, penyakit akan muncul bila ada faktoe stress yang memicunya. Seperti asam lambung yang akan meningkat jika stress berlebih, sehingga orang bakal mudah diare, atau malah susah buang air besar. Nafsu makan turun, juga susah tidur, kadang sesak napas atau gatal-gatal tampa sebab yang jelas. Sementara yang punya riwayat asma, bakal kambuh, atau malahan ada yang sampai stroke (serangan jantung) akibat depresi dan stress akut.
Psikiater dari Lenox Hill Hospital, di New York City, Amerika Serikat, kebohongan bukan hanya mengganggu kesehatan pribadi, tapi juga kualitas hubungan dengan orang lain. "Kebanyakan orang tahu dampak buruk dari kebohongan pada hubungan, tapi tidak mengenali sejauh mana kebohongan dapat menyebabkan stress," kata dia. Malahan, juga dari hasip penelitian, rata-rata orang berbohong sekali dalam sehari, baik itu bohong demi menyelamatkan gengsi, atau berkaitan dengan integritas, loyalitas, dan sebagainya.
Gak ada satu pun dari kita yang mau dibohongi. Untuk alasan apapun. Kalau pun ada, pasti nih orang udah terganggu jiwanya (maaf, hehehe...). Jika tak mau diingkari, maka janganlah berbohong pada orang lain. Bohong pada orang lain sama aja berdusta pada diri sendiri. Terus gimana dong menghindar dari kebiasaan atau kegemaran berdusta?
Pertama, lihat dan perhatikan efek juga risikonya. Orang yang kita bohongi pasti gak akan respect lagi dengan kita, jika ternyata kalimat yang kita ucapkan ternyata dusta. Sebab, yang dibohongi pasti merasa kecewa, terluka, juga marah (sebel/jengkel). Akibatnya, hubungan yang terjalin pun jadi merenggang. Kedua, hindari sumber-sumber yang membuat kita ingkar, seperti serakah, selingkuh, atau melanggar aturan main. Ketiga, tekankan bahwa bohong itu dosa dan hal yang memalukan, atau gak terhormat. Keempat, terakhir, buat daftar dosa "bohong" yang sudah pernah dirapalkan kepada orang lain.
Emang sih, mengubah kebiasaan ingkar, apalagi jamak dilakukan sejak piyik (kanak-kanak), gak seperti balik kanan maju jalan. Empat mantra yang di atas bisa dipakai, asal niatnya sekeras baja hitam. Padat dan solid. Yang jelas, mas bro dan mbak bro kudu step by step. Dijamin, manfaatnya lebih gede setelah hobi bohong itu lenyap dari hidup kita. Bolong-bolong di jiwa karena bohong bakal memudar, dan hidup pun jadi lebih sehat. Sehat raga, dan jiwa pastinya.
Kembali pada dilema Wu dan Ang. Teman yang sempat ikut mendengarkan "perang" cinta Wu-Ang, balik bertanya. "Jadi, yang cerita tukaran mobil supaya kalian bisa ke Malang, itu beneran atau cerita bohong?," tanya Lin, yang terkejut bahwa Wu membohongi Ang. "Oh kalau yang tukar mobil itu cerita benar, bukan bohong," jawabku. Pertanyaan Lin seperti jadi contoh bentuk ketidakpercayaan orang kepada seseorang yang telah berbohong. Kalau begitu, masih mau berbohong?
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar