Minggu sore,
sekitar jam 17.15, Jokowi dan JK bergegas masuk ke taman Istana Negara.
Langkahnya cepat, seperti biasa. Pak JK pun sampai terpaksa lari kecil untuk
mengimbangi langkah “sprint” Pak Jokowi. Sesekali keduanya melempar senyum
kepada orang-orang yang menyapanya saat melintas. Wajah kedua pemimpin negara
itu tampak segar dengan kemeja putih dan celana hitam yang membalut tubuh
mereka.
Sambil
menuang segelas minuman dingin dan menjumput lalu mengunyah melinjo manis dari
toples plastik, aku pun antusias mengikuti acara pengumuman “kabinet kerja”
pilihan Pak Jokowi dan Pak JK. Ponsel di tangan memampang 34 nama menteri,
kiriman teman seorang jurnalis dari sebuah milis di akun whatsap. “Katanya ini
sudah pasti nama-nama menterinya. Hasil akhir,” begitu kata dia dalam milis.
Dalam milis
itu pun disebutkan bahwa nanti, sewaktu pengenalan 34 menteri, para calon
menteri akan menggenakan baju warna putih. Awalnya sih gak terlalu peduli.
Tapi, sewaktu benar-benar melihat di layar TV para menteri yang dipanggil satu
per satu datang dengan kemeja warna putih, rasanya hati sedikit terenyuh. Semua
menteri, laki-laki maupun perempuan, mengenakan kemeja polos warna putih, yang
sepertinya sama modelnya seperti yang dikenakan oleh Pak Jokowi dan Pak JK.
Celana yang dipakai pun celana hitam polos. Rasanya sangat santun, bersahaja,
sederhana, dan damai melihat barisan para panglima beserta nahkoda-nya
berbusana warna putih.
Bukan
bermaksud melebih-lebihkan, tapi pengenalan menteri-menteri baru ini terasa berbeda,
segar, dan memberikan harapan baru. Tidak adak kesan glamour atau lebay yang sengaja dipertontonkan. Mereka, para ksatria, dikenalkan kepada publik sebagai
pekerja dan panglima, bukan sebagai pejabat dan pembesar. Dari kemeja putih
itu, sepertinya Pak Jokowi-JK ingin memberikan sebuah pesan kepada rakyat bahwa
panglima-panglima yang dipilihnya adalah ksatria yang siap bekerja dan
memberikan yang terbaik kepada bangsa.
Pelangi pada Tunic Romawi
Tiap menteri
memiliki gayanya masing-masing dalam mengenakan kemeja putihnya. Misal Pak
Yuddy Chrisnandi, selaku Menpan, tampil dengan kemeja putih yang dimasukkan ke
dalam celana hitamnya, dengan bagian lengan yang digulung 7/8. Serupa dengan
Ibu Retno Marsudi, yang didapuk sebagai Menlu, memasukkan kemeja putihnya yang
sedikit kedodoran. Sementara Ibu Siti Nurbaja, Menlinghut, membiarkan kemeja
putihnya terjuntai keluar dengan bagian lengan yang tertutup rapi sampai
pergelangan tangan. Sedangkan yang sedikit berwarna adalah tampilan Ibu Susi,
selaku Menteri Kelautan dan Perikanan, yang melilitkan scraf warna-warni pada
lehernya.
Dalam benak
ini masih bertanya apa alasan sebenarnya yang membuat Pak Jokowi dan Pak JK
ingin para panglima perangnya tampil dengan kemeja putih dan celana hitam.
Busana yang mereka kenakan membuat aku teringat dengan kostum para pekerja yang
sedang magang. Pakainnya pasti hitam dan putih. Apakah Pak Jokowi-JK ingin
mengingatkan bahwa para menteri yang terpilih ini adalah para pekerja mula atau
pekerja magang yang akan berkarya di dalam sebuah kapal baru bernama “kabinet
kerja.” Ataukah mereka sengaja ditampilkan kepada publik sebagai orang-orang
bersih yang tidak akan melakukan tindak korupsi, dan tidak punya raport merah
dari KPK.
Atau
mungkin, Pak Jokowi-JK ingin menunjukkan bahwa para ksatria yang dipilihnya
adalah orang-orang yang siap bekerja, bekerja, dan bekerja. Kesan bahwa mereka
yang terpilih tidak memiliki agenda penting lain yang disisipkan oleh partai
atau kelompok kepentingan yang menjadi afiliasi mereka. Tak ada warna kuning,
biru, merah, oranye, hijau, ungu, dan lainnya. Hanya putih. Ini bisa diartikan
bahwa mereka memiliki warna yang sama, tujuan yang sama, dan semangat yang
sama, yaitu untuk kebaikan rakyat dan bangsa.
Kemeja warna
putih ini mengingatkan aku pada para negarawan dan pemikir di masa
Romawi-Yunani kuno. Para negarawan dan pemikir selalu tampil mengenakan tunica (baju dengan ukuran lebih pendek)
atau toga (baju berukuran lebih
panjang) berwarna putih. Selain perbedaan bahan, tunic atau toga putih itu
memberikan kesan bahwa orang yang mengenakan adalah orang penting dan memiliki
posisi tertentu. Di zaman Romawi kuno, seorang gadis akan tetap mengenakan baju
putih hingga dewasa dan menikah. Orang Romawi juga yakin bahwa mengenakan baju
berwarna putih akan memberikan ketenangan dan mimpi yang indah.
Dalam
berbagai budaya dan tradisi, warna putih melambangkan kesucian dan kemurnian.
Tak pelak, warna putih sering dikenakan oleh pengantin perempuan atau bahkan
dalam upacara penyucian diri. Secara tradisional, laki-laki yang mengenakan
baju putih dilambangkan sebagai bentuk kebajikan dan kepolosan. Baju berwarna
putih mampu memancarkan aura kebaikan dan kesan yang tulus seseorang. Bak
kanvas, warna putih bagi pelukis adalah media paling murni baginya menuangkan
karya ciptanya.
Namun,
menurutku, warna putih adalah hasil akhir dari penggabungan seluruh warna. Saat
semua warna bertumpuk menjadi satu barisan, warna terakhir yang terlihat adalah
putih. Ibarat pelangi yang membujur di langit usai hujan reda, merupakan sebuah
pembiasan cahaya dari matahari. Warna putih sang surya yang kuat ternyata jika
diuraikan melalui media air akan membentuk spektrum warna-warni pelangi. Jadi,
seperti itulah pesan putih yang ingin disampaikan Pak Jokowi-JK melalui kemeja
putih para panglima perangnya.
Yah, semoga
yang aku harapkan, dan mungkin kamu dan orang lain harapkan adalah seperti itu.
Bahwa Pak Jokowi dan Pak JK ingin membawa pembaruan dan mewujudkan Indonesia
yang lebih baik dengan para “ksatria putih”-nya. Semoga juga, kemeja putih ini
tetap putih sampai akhir masa kerja mereka, tidak tercoreng oleh warna-warna
gelap, atau malah berganti dengan warna kemeja sesuai dengan afiliasinya.
Oh ya,
ngomong-ngomong aku belum punya kemeja putih nih... (bukan mau dipanggil Pak
Jokowi buat jadi calon menteri, tapi mau ngelamar kerjaan, hahaha...)
-- @yudathant
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar