Akhir November
ini, kontrak bekerjaku berakhir. Selembar surat legalitas yang mengikat aku dengan
kantor ini pun sampai di ujung perjalanan. Tak ada lagi surat yang
berisi klausa-klausa “abu-abu” yang menuntut aku bekerja penuh pengabdian. Tiga
tahun. Apakah ini sudah cukup? Atau aku masih ingin bertahan lagi di kontrak
yang rapuh itu?
Keputusan aku
untuk mengakhiri “kisah romantis” dengan kantor ini mungkin sedikit nekad. Tanpa
memiliki pijakan yang baru dan kondisi badan yang masih ringkih, aku memutuskan
untuk berhenti. Aku sudah lelah bekerja dengan tidak profesional. Aku mau lebih
dihargai secara profesional dan “serius” sebab aku kerja penuh semangat dan
tekad.
“Itu kan
hanya kontrak. Tapi di sini, kamu harus mengerjakan semuanya. Tidak hanya pada satu
klien saja,” begitu ujar pihak manajemen.
Hal inilah
yang membuat aku harus memutuskan berhenti mengabdi. Usulanku untuk mengubah
isi kontrak tidak disetujui. Bahkan, untuk menambah masa kerja hingga enam
bulan, hingga projek yang aku kerjakan sampai di titik teraman pun ditolak. Aku
hanya diberi waktu tiga bulan. “Oke pak jika maunya demikian,” ujar aku. Dengan
begitu, aku hanya diberi kesempatan bekerja ekstra dari September sampai
November.
Dibandingkan
dengan masa kerja sebelumnya, periode kerja kali ini lebih pendek, hanya tiga
tahun. Padahal, di kantor lama, aku mampu bertahan dan mengabdi sampai tujuh
tahun.
Meski hanya
tiga tahun, pencapaian yang aku dapatkan cukup besar. Cita-cita menberikan
perubahan secara langsung kepada orang lain, pun terwujud. Aku masih ingat pertanyaan
salah satu “pioneer” di kantor ini yang mewawancarai aku sebelum akhirnya
menerimaku bekerja. “Kamu pilih mana, ingin menjadi akademisi atau praktisi? Jika
akademisi, mungkin dosen adalah jawaban yang tepat. Namun, jika praktisi, di
sini mungkin jawabannya,” ujar dia meyakinkan. Dan itu ternyata benar.
Terlebih lagi,
aku mendapat kesempatan belajar banyak hal yang selama ini menjadi keinginan
yang terpendam dalam diriku. Bahkan, seorang guru dan mentor menjadi teladan
selama aku bekerja. Dia menularkan semua yang dia ketahui, dan aku menyerap
semua yang dia curahkan. Bagai bambu, aku diasah menjadi lebih runcing untuk menjadi
senjata perang yang sederhana namun mematikan.
Waktu berjalan,
atau mungkin berlari, begitu cepat. Tiga tahun tidak terasa. Tujuh tahun saja
tidak, apalagi tiga. Tiba-tiba aku kembali dihadapkan di meja pencari kerja.
Kemana lagi perjalanan ku akan berlanjut?
Ini belum berakhir!
@yudathant