Setelah berulang kali
menimbang layaknya hakim di ruang sidang kasus perdata, dan berdiskusi alot bak
anggota dewan kala sidang paripurna, akhirnya kami memutuskan Madura! Zul, Ade, Nana, dan aku
akhirnya menemukan kata sepakat kami akan “berkelana” di Madura. Yakni di ujung
timur Pulau Madura, atau di Sumenep tepatnya, situs kota sejarah peninggalan kerajaan yang dibangun Arya Wiraraja.
Persiapan perjalanan 3 hari
2 malam pun selesai. Mbak Nelita, teman kampus kami yang asli Sumenep, sudah
kami kontak dan bersedia menampung kami selama 2 malam. Motor sudah diservis,
duit yang “pas-pasan” untuk isi bensin, makan siang, dan tiket-tiket lokasi
wisata sudah ada di dompet. Waktunya berangkat. “Besok kita berangkat pagi yah!
Biar gak kesiangan. Soalnya di Madura mataharinya ada tiga, hehe..,” ujar salah
satu dari kami.
Waktu tempuh perjalanan dari
Surabaya ke Sumenep sekitar 3 jam, dengan kecepatan laju sepeda motor 60-80
km/jam. Selepas dari Jembatan Suramadu yang membentang kokoh di Selat Madura,
kami melewati Kabupaten Bangkalan. Dari Bangkalan menuju Sumenep, lebih dulu
kami melintasi Kabapaten Sampang. Di sini, kami sempat mampir di sate kambing
di daerah Tana Mera, yang cukup terkenal. Rasa satenya sih lumayan enak, tapi sayang warungnya kurang bersih.
Lewat jam 1 siang, kami
akhirnya tiba di rumah Mbak Nelita, di Kecamatan Saronggi, yang berjarak 8-10
km sebelum Kota Sumenep. “Sudah.., kalian istirahat dulu, makan-makan dulu,
lalu kita jalan ke museum dan masjid agung. Mau gak?,” ucap Mbak Neli dengan
ramah, khas warga Sumenep.
Oh ya, penduduk Sumenep
memang sedikit berbeda dengan kebanyakan karakter orang Madura yang biasa ditampilkan
di media layar kaca. Tutur kata dan cara bertutur orang asli Sumenep lebih halus
dan “mengalun,” tidak meledak-ledak atau lantang. Karakter mereka pun lebih
ramah, seperti orang Solo di tanah Jawa. Tak hanya itu, dari beberapa orang
Sumenep yang aku kenal, dari ciri fisiknya, lebih banyak yang berkulit terang,
dan cantik-cantik (hehehe..., kalo ini subjektif lah). Konon, hal ini dipengaruhi oleh sejarah ratusan silam, yakni
adanya kerajaan dan keraton besar di Sumenep.
Kolam Jodoh atau...?
Baiklah, perjalan hari
pertama kami ada tiga, yakni ke Museum dan Istana Kerajaan Sumenep, Masjid
Agung, dan Pantai Slopeng. Musem dan Keraton letaknya berhadap-hadapan.
Sebagian ruang di Keraton juga dijadikan ruang pamer perabotan dan artefak
peninggalan kerajaan. Beberapa benda yang menarik di museum adalah Al-Quran
raksasa, dengan tinggi hampir 3 meter, kereta kencana, stempel kerajaan, dan
senjata-senjata kerajaan.
Keraton Sumenep atau dulu disebut Karaton Songennep tahun 1781, dengan arsitek seorang keturunan tionghoa, Lauw Piango. Komplek keraton tidak terlalu besar. Bagian depan terdapat gerbang besar, selanjutnnya pendapa besar yang digunakan untuk menyambut tamu. Bangunan di sebelah kiri digunakan sebagai ruang pamer pusaka dan peninggalan keraton, sedangkan bagian belakang masih diperuntukkan tempat tinggal keluarga keraton.

“Hmmm...,
pilih yang mana yah?”
“Aku
semua aja deh,” ujar Nana.
“Gak bisa
lah, pilih satu dong!” kata Ade.
“Ok ok, aku lewat yang sini aja deh (jodoh dan
awet muda),” tunjuk Nana sembari menuruni anak tangga dengan gaya ala-ala “maju
mundur chantik.”
Aku pun bimbang untuk memilih. Kiri, tengah, atau
kanan. Rejeki, jodoh, atau karier? Aku mau duit banyak. Kawin, sapa yang gak pengen. Tapi, kerja juga butuh.
Waduh....
Kalau kamu kira-kira bakal pilih kolam yang mana?
Lokasi berikutnya adalah
Masjid Agung di depan Alun-alun Kota Sumenep. Masjid ini punya gerbang depan
dan pagar benteng yang indah. Perpaduan warna kuning dan putih pada gerbang ini
sangat apik menjadi objek foto. Sayangnya, saat kami datang sedang ada
perbaikan, sehingga kami tidak bisa masuk dan mengeksplorasi lebih jauh.
“Jepret, jepret, jepret...,” dan 10 menit kemudain kami pun lantas pergi,
meluncur ke Pantai Slopeng.
Kami sedikit terlambat
datang di Pantai Slopeng yang berjarak 20 km ke arah utara dari pusat kota.
Matahari pun sudah malas bersinar, dan awan sore bertaburan menutupi sinarnya.
Jadi, pantai berpasir putih dengan barisan pohon cemara udang pun kurang
terlihat indah. “Gak apa-apa, besok kita ke Pantai Lombang. Tempatnya gak kalah
bagusnya,” hibur Mbak Neli.
Mengintip Pulau Talango

Kawasan Kalianget adalah
kawasan kota tua di Sumenep. Bangunan-bangunan bekas peninggalan kolonial
Belanda masih terlihat kokoh, meski sebagian tampak lusuh, kotor, dan tak
terawat. Sisa-sisa gudang pabrik gula, pabrik garam, atau rumah “pembesar”
pejabat Belanda meninggalkan kesan klasik dan antik di Kalianget. Rasanya,
tangan ini gatal untuk menjepret semua objek “tua” di Kalianget, tapi kami
berkejaran dengan waktu.

Kami pun di bawa ke salah
satu lokasi terindah di Pulau Talango, di sisi tenggara pulau. Sebuah tebing batu
karang. Di bagain bawah tebing terdapat pantai karang yang cantik. Saat senja,
keindahan matahari terbenam bakal terpotret dengan sangat indah. Sebuah kapal kayu
yang melintas di depan mentari yang hendak ditelan laut di ufuk barat,
tiba-tiba terbayang di imajiku.

Tujuan selanjutnya setelah
kembali ke kota, adalah ke Pantai Lombang. Benar apa yang dikata Mbak Nelita
bahwa Pantai Lombang lebih indah. Deretan pohon cemara udang yang teduh sudah
menyapa setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam dari kota.

Sejumlah penduduk di sekitar
pantai juga menjajakan pohon cemara pantai dengan harga beragam. Cemara udang atau Casuarina equisetifolia linn, adalah jenis cemara dengan batang yang besar dan daun berujung lancip seperti jarum. Di dunia botani hias, cemara udang banyak dibuat bonsai karena hasilnya sangat menarik dan unik. “Banyak
orang-orang Surabaya atau dari luar Madura yang beli pohon cemara pantai buat
ditanam di taman mereka. Soalnya bagus kalau untuk taman,” ujar salah seorang
warga di Lombang.
Malam hari sebelum pulang
istirahat, suami Mbak Nelita mengajak kami mampir ke Rumah Makan Kartini, untuk
mencicipi "cake" (dibaca dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris. Makanan berkuah, seperti karee, ini adalah salah satu menu khas dari Sampang. Tambah lezat jika ditambah cincangan cabe rawit.
Marcusuar Cinta
Saat kami pun kembali ke
Surabaya. Tapi sebelum pulang, kami sempatkan mampir ke sebuah lokasi marcusuar
tua di dekat rumah Mbak Nelita. Dengan suaminya, Mbak Nelita mengantar kami
menikmati marcusuar tersebut. Dilihat dari lokasinya, marcusuar ini seperti
cocok buat foto prewedding atau sesi pemotretan yang lainnya. Hamparan batu
karang, membentang luas di bawah marcusuar berwarna putih yang menjulang
setinggi gedung delapan lantai.
Puas mengabadikan momen di
marcusuar, kami singgah di sebuah perajin batik Sumenep yang ternama, Zaini,
Batik Melati. Menurut anak menantu pemilik gerai batik, batik Sumenep berbeda
dengan batik Madura lainnya. Batik Sumenep tidak banyak menampilkan warna yang
cerah dan terang, tetapi lebih condong ke gelap dan lembut, seperti hijau tua,
ungu, merah marun, biru, dan coklat. Motifnya juga lebih kaya, karena ada unsur
keraton yang menghiasi motif batik Sumenep. Motifnya ada yang komplek, namun
ada juga yang sederhana. Perpaduan warna yang lembut dan gelap, serta adanya
kesan elegan, mewah, dan glamor, membuat batik Sumenep cocok sekali jika
dikenakan pada acara pesta atau upacara resmi.

“Sebentar, aku beliin dulu
buat kakakku,” ujar Nana, setelah berjibaku dengan tumpukan kain batik di
hadapannya. “Setelah belanja baru kita pulang yah. Bentar lagi yah
teman-teman,” pinta Nana.
Kemewahan batik Sumenep
melengkapi perjalanan kami di ujung timur Pulau Madura. Belum puas memang, tapi
kami berjanji lain waktu akan berkunjung dan lebih jauh menjelajahi Sumenep.
Jadi, tunggulah aku ya Sumenep... “Ngeeeenggg...,” bunyi knalpot motor kamu pun
ketika melaju kencang meninggalkan Sumenep.
-- yudathant--