Salah satu cita-cita terdalam yang mengendap di benak ini adalah menjadi pendidik, bukan sekadar pengajar atau guru. Ini pula yang menjadi alasan kuat kepindahan dari pekerjaan pertama menuju pekerjaan yang kedua. Persiapan pun dilakukan demi mencapai hasrat itu. Sekolah selama dua tahun kelar, saatnya melangkah menuju tujuan utama tersebut.
Sayangnya, nasib berkata lain. Hanya tinggal satu tahapan langkah lagi, di ujung akhir tes aku tergoda memilih menjadi praktisi pendidikan, alih-alih akademisi yang diinginkan. Sepertinya, terjun di lapangan lebih menantang ketimbang duduk dan berdiri di dalam kelas. Alhasil, dalam hitungan jam aku banting setir, dari kanan menuju ke kiri.
Yah..., beras sudah menjadi bubur, aku pun terjun menjadi praktisi pendidikan, khususnya literasi bagi anak-anak. Ternyata, berbelok ke arah berbeda ini lebih menantang dan banyak kejutan yang tak kita bayangkan sebelumnya. Pengalaman, praktik lapangan, hingga knowledge yang hanya aku baca di buku, dapat aku lihat dan lakukan secara nyata. Bahkan, memberikan dampak yang tampak, meski hanya baru sebagian kecil abu.
Tidak hanya satu subjek yang aku hadapi, melainkan subjek dari bawah atau penerima manfaat, hingga subjek yang duduk sebagai pengambil keputusan. Akibatnya, aku benar-benar belajar untuk mengolah diri menghadapi sekaligus me-manage orang yang berbeda status dan karakter sosialnya. Lagi-lagi, mungkin saja tidak aku dapatkan jika aku berbelok ke kanan, menjadi pendidik atau dosen di sebuah perguruan tinggi negeri.
Bicara soal subjek yang menjadi sasaran pekerjaanku, bocah-bocah siswa sekolah dasar, ternyata sangat mengasyikkan bekerja dengan mereka. Sebab, mereka tidak banyak punya kepentingan dan punya banyak harapan. Tidak seperti (maaf) orang dewasa yang punya sejuta agenda kepetingan serta napsu tersembunyi dalam melakukan sesuatu. Selaku merasa bahagia saat bekerja dan bermain bersama bocah-bocah ini. "Siapa yang mau bermain games?" sontak mereka pun menyahutt kompak "sayaaaa...." Saat permainan usai, mereka minta bermain yang lain lagi. Tuh, sungguh asyik kan, aku lebih banyak bermainnya dari pada bekerja saat di lapangan.
Siapa bilang anak-anak tidak suka membaca?
Salah satu target dalam pekerjaanku yang terakhir adalah menumbuhkan kebiasaan membaca pada anak-anak. Bukan hanya minat, tetapi sudah menjadi kebiasaan. Lho..., beda ya antara minat dan kebiasaan. Jelas beda dong sayang. Minat, dalam konteks perilaku, itu barulah sebatas keinginan atau niat terhadap sesuatu yang diinginkan (dipikirkan) dan nanti akan menjadi dorongannya bertindak. Sedangkan kebiasaan adalah sikap yang sudah dilakukan atau tindakan yang perbuat, bahkan telah menjadi rutinitas hidupnya.
Contoh gampangnya: Aku sejak tadi pagi berminat (niat) pergi ke toko buku untuk membeli satu buku yang sudah aku incar. Niat itu sangat kuat, sebab sebulan lebih aku tidak baca buku (selain) buku yang terkait pekerjaan. Namun sayangnya, hingga malam menjelang dan kantuk menyapa, aku tak kunjung berangkat ke toko buku. Sementara kebiasaan, adalah rutinitas yang hal yang harus dilakukan, jika tidak akan merasa ada sesuatu yang "hilang" atau "kurang," bahkan merasa bersalah karena tidak melakukannya.
Well, kembali ke topik semula yuk! Menumbuhkan kebiasaan membaca anak, menurut para guru-guru di sekolah adalah hal yang susah. Sebab, anak-anak tidak suka membaca buku; anak-anak malas jika disuruh membaca; anak-anak lebih suka bermain ketimbang membaca. Begitulah alasan para guru di sekolah. Aku merasa tidak percaya dengan pendapat mereka. Mungkin anak-anak butuh pemicu untuk mau, suka, dan minat membaca. Dan tidak bermaksud menyudutkan bapak-ibu guru, mungkin saja mereka kurang kreatif mendorong dan menarik minat siswanya mau membaca.
Selama di lapangan, hipotesis kecil itu pun terbukti. Anak-anak ternyata sangat suka dan punya minat membaca. Bahkan, mereka dengan antusiasnya mencari buku-buku baru yang bisa mereka baca sendiri maupun bersama teman dan saudaranya. Ini semua bergantung bagaimana sekolah, terutama guru menstimulus siswa-siswinya membaca. Selanjutnya, siswa akan mengembangkan dirinya lebih sering dan suka membaca, sehingga terbentuk kebiasaan, meski intensitas tiap anak tersebut berbeda-beda.
Membaca bukan berarti bisa mengeja, merangkai suku kata, dan mengucapkan teks kata-kalimat dengan benar dan cepat. Membaca juga mencakup unsur memahami dan menyenangkan. Percuma saja jika seorang bocah bisa mengeja dan merangkai kata menjadi kalimat, tetapi tidak memahami arti dan konteks kata-kalimat yang dibacanya. Bahkan lebih parah jika si bocah merasa tidak suka atau enjoy (nyaman) dengan kegiatan membaca yang dilakukannya. Maka, membaca juga butuh perasaan senang agar teks yang dibacanya lebih gampang dikuasai dan dimengerti.
Anak-anak butuh buku yang tepat untuk dibaca. Setiap anak dan jenjang kelas memerlukan buku yang tidak sama. Bagi siswa yang baru masuk sekolah dan baru belajar membaca tentunya butuh buku yang sederhana secara bahasa, konten, konteks, dan literaturnya. Jika mereka sudah dijejali dengan buku yang "susah" karena menggunakan kata dan bahasa yang sulit dieja dan dipahami, bahkan konteks yang dibahas jauh pun rumit, akan membuatnya merasa kesulitan. Ujung-ujungnya siswa menjadi malas dan enggan sebab mereka menganggap membaca itu tugas yang berat dan tidak menyenangkan. Oleh karena itu, secara bertahap siswa diberikan buku-buku sesuai kemampuannya membaca dan topik-topik yang disukainya. Saat ini, kecenderungannya, sekolah hanya menyediakan buku tanpa melihat dan memahami kemampuan dan kebutuhan anak didiknya.
Suasana dan ruangan membaca yang nyaman, dalam hal ini rapi, bersih, santai, relaks, dan tidak ada tekanan, akan membuat siswa betah membaca buku. Percuma saja ada setumpuk buku tetapi tidak ada tempat yang nyaman bagi mereka membaca. Demikian pula tidak tersedia waktu khusus bagi mereka membaca, baik di sekolah dan di rumah. Siswa disibukkan dengan tugas belajar dan pekerjaan rumah yang membuatnya jenuh dan terbebani. Lagi-lagi tidak menyenangkan. Memang sekarang ini Kemendikbud telah menggalakkan gerakan literasi sekolah (GLS) dengan membaca buku 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Namun, efektivitas kegiatan ini masih terasa kurang. Sebab, siswa "dipaksakan" membaca buku di dalam kelas. Padahal, suasana yang terbangun di kelas adalah belajar, bukan membaca yang menyenangkan.
Kreativitas guru pun menentukan bagaimana siswa akan menyukai membaca. Sistem pendidikan di Indonesia kebanyakan belum mendukung siswa dan guru berpikir kreatif. Sebab, membaca dianggap hanya sebagai keterampilan yang wajib dikuasi, bukan sebagai kegiatan yang mampu menumbuhkan daya pikir dan kreativitas siswa. Akibatnya membaca menjadi kegiatan monoton dan membosankan. Guru umumnya juga tidak atau belum mengetahui cara membaca yang baik, sehingga tidak mampu mencontohkan dengan tepat kepada siswanya. Padahal, dengan membaca buku penuh ekspresi dan aksi, diyakini bahkan sudah terbukti, membuat siswa berminat pada kegiatan membaca. Salah satu bentuknya adalah membaca lantang (reading aloud), yang mirip mendongeng, tapi metodenya tidak sama lho.
Satu hal yang tidak kalah penting, malah sangat penting, adalah modelling dari guru-guru di sekolah. Guru perlu memberikan tauladan dan contoh bahwa membaca adalah sebuah kebiasaan dan kegiatan yang menyenangkan. Hasil survei yang sempat aku lakukan, hanya 2-3 guru dari 10 guru yang suka ataupun aktif membaca buku (selain buku pelajaran dan modul mengajar) setiap hari. Sisanya, tidak pernah atau jarang membaca. Alasannya, terlalu sibuk mengajar, menyiapkan dan menyelesaikan materi pelajaran yang harus dituntaskan setiap semesternya, diribetkan dengan urusan administrasi dan lomba-lomba yang harus diikuti sekolah. Guru super sibuk, sehingga tidak punya waktu untuk membaca sedetik pun saat di sekolah. Kasihan!
Terpenuhinya semua hal di atas, sepertinya akan membuat siswa lebih antusias membaca. Mereka tidak akan lagi mengangap membaca adalah tugas menyulitkan dan membosankan. Semua bergantung bagaimana kreativitas kita sebagai pendidik mengarahkan dan membimbing mereka mencintai buku dan membaca.
Pendidik yang terdidik
Di hari yang bahagia bagi guru ini, saya hanya ingin sedikit berbagi dengan rekan-rekan pendidik yang berjuang di lapangan. Masalah mereka, baik di dalam dan luar sekolah, sudah menumpuk. Tidak perlu ditambah lagi dengan masalah-masalah lain yang membebani. Guru sepatutnya menjadi pendidik yang berbahagia agar siswa-siswi yang didiknya pun menjadi pribadi-pribadi yang bahagia.
Seperti disebutkan tadi bahwa guru perlu memberikan contoh yang baik kepada siswanya, salah satunya dengan kebiasaan membaca. Manfaat membaca bagi guru tentu besar sekali. Pengetahuan dan wawasan yang menyangkut langsung maupun tidak langsung pada materi pengajaran pastilah akan meningkat, dibandingkan jika tidak membaca. Dengan membaca, guru akan terus belajar dan terdidik. Sebab, mengajar bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga mendidik karakter dan memberi pengalaman hidup kepada siswanya.
Pemahaman angka akadimik dan prestasi pelajaran, sebaiknya perlu dikikis dalam pola pikir (mind set) para guru kita. Sebab, umumnya mereka masih terjebak pada hasil, bukanya menikmati proses pembelajaran yang terjadi. Akibatnya, siswa dituntut memiliki nilai tinggi di setiap pelajaran, tanpa memerhatikan kesulitan dan minat yang disukai siswa tersebut. Hal yang sering juga dilupakan oleh guru adalah "mengajar itu menyenangkan." Para guru hanya mengajar demi memenuhi tanggung jawab kurikulum, menyelesaikan kewajiban membuat siswa memunyai nilai matematika dan IPA yang tinggi di raport, bahkan demi periuk nasi di rumah. Padahal, mengajar akan membuahkan hasil yang manis jika didasari perasaan suka dan senang.
Pak dan Bu Guru, semoga celotehan mantan siswamu ini tidak membuatmu sakit hati atau bilang "Uhh.., sok tahu!" Saya cuman menuliskan apa yang telah sekelumit saya lewati dan akan terus saya jalani, berusaha menjadi pendidik yang baik.
Salam Pendidikan.
-- @yudathant --
Contoh gampangnya: Aku sejak tadi pagi berminat (niat) pergi ke toko buku untuk membeli satu buku yang sudah aku incar. Niat itu sangat kuat, sebab sebulan lebih aku tidak baca buku (selain) buku yang terkait pekerjaan. Namun sayangnya, hingga malam menjelang dan kantuk menyapa, aku tak kunjung berangkat ke toko buku. Sementara kebiasaan, adalah rutinitas yang hal yang harus dilakukan, jika tidak akan merasa ada sesuatu yang "hilang" atau "kurang," bahkan merasa bersalah karena tidak melakukannya.
Well, kembali ke topik semula yuk! Menumbuhkan kebiasaan membaca anak, menurut para guru-guru di sekolah adalah hal yang susah. Sebab, anak-anak tidak suka membaca buku; anak-anak malas jika disuruh membaca; anak-anak lebih suka bermain ketimbang membaca. Begitulah alasan para guru di sekolah. Aku merasa tidak percaya dengan pendapat mereka. Mungkin anak-anak butuh pemicu untuk mau, suka, dan minat membaca. Dan tidak bermaksud menyudutkan bapak-ibu guru, mungkin saja mereka kurang kreatif mendorong dan menarik minat siswanya mau membaca.
Selama di lapangan, hipotesis kecil itu pun terbukti. Anak-anak ternyata sangat suka dan punya minat membaca. Bahkan, mereka dengan antusiasnya mencari buku-buku baru yang bisa mereka baca sendiri maupun bersama teman dan saudaranya. Ini semua bergantung bagaimana sekolah, terutama guru menstimulus siswa-siswinya membaca. Selanjutnya, siswa akan mengembangkan dirinya lebih sering dan suka membaca, sehingga terbentuk kebiasaan, meski intensitas tiap anak tersebut berbeda-beda.
Membaca bukan berarti bisa mengeja, merangkai suku kata, dan mengucapkan teks kata-kalimat dengan benar dan cepat. Membaca juga mencakup unsur memahami dan menyenangkan. Percuma saja jika seorang bocah bisa mengeja dan merangkai kata menjadi kalimat, tetapi tidak memahami arti dan konteks kata-kalimat yang dibacanya. Bahkan lebih parah jika si bocah merasa tidak suka atau enjoy (nyaman) dengan kegiatan membaca yang dilakukannya. Maka, membaca juga butuh perasaan senang agar teks yang dibacanya lebih gampang dikuasai dan dimengerti.
Anak-anak butuh buku yang tepat untuk dibaca. Setiap anak dan jenjang kelas memerlukan buku yang tidak sama. Bagi siswa yang baru masuk sekolah dan baru belajar membaca tentunya butuh buku yang sederhana secara bahasa, konten, konteks, dan literaturnya. Jika mereka sudah dijejali dengan buku yang "susah" karena menggunakan kata dan bahasa yang sulit dieja dan dipahami, bahkan konteks yang dibahas jauh pun rumit, akan membuatnya merasa kesulitan. Ujung-ujungnya siswa menjadi malas dan enggan sebab mereka menganggap membaca itu tugas yang berat dan tidak menyenangkan. Oleh karena itu, secara bertahap siswa diberikan buku-buku sesuai kemampuannya membaca dan topik-topik yang disukainya. Saat ini, kecenderungannya, sekolah hanya menyediakan buku tanpa melihat dan memahami kemampuan dan kebutuhan anak didiknya.
Suasana dan ruangan membaca yang nyaman, dalam hal ini rapi, bersih, santai, relaks, dan tidak ada tekanan, akan membuat siswa betah membaca buku. Percuma saja ada setumpuk buku tetapi tidak ada tempat yang nyaman bagi mereka membaca. Demikian pula tidak tersedia waktu khusus bagi mereka membaca, baik di sekolah dan di rumah. Siswa disibukkan dengan tugas belajar dan pekerjaan rumah yang membuatnya jenuh dan terbebani. Lagi-lagi tidak menyenangkan. Memang sekarang ini Kemendikbud telah menggalakkan gerakan literasi sekolah (GLS) dengan membaca buku 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Namun, efektivitas kegiatan ini masih terasa kurang. Sebab, siswa "dipaksakan" membaca buku di dalam kelas. Padahal, suasana yang terbangun di kelas adalah belajar, bukan membaca yang menyenangkan.
Kreativitas guru pun menentukan bagaimana siswa akan menyukai membaca. Sistem pendidikan di Indonesia kebanyakan belum mendukung siswa dan guru berpikir kreatif. Sebab, membaca dianggap hanya sebagai keterampilan yang wajib dikuasi, bukan sebagai kegiatan yang mampu menumbuhkan daya pikir dan kreativitas siswa. Akibatnya membaca menjadi kegiatan monoton dan membosankan. Guru umumnya juga tidak atau belum mengetahui cara membaca yang baik, sehingga tidak mampu mencontohkan dengan tepat kepada siswanya. Padahal, dengan membaca buku penuh ekspresi dan aksi, diyakini bahkan sudah terbukti, membuat siswa berminat pada kegiatan membaca. Salah satu bentuknya adalah membaca lantang (reading aloud), yang mirip mendongeng, tapi metodenya tidak sama lho.
Terpenuhinya semua hal di atas, sepertinya akan membuat siswa lebih antusias membaca. Mereka tidak akan lagi mengangap membaca adalah tugas menyulitkan dan membosankan. Semua bergantung bagaimana kreativitas kita sebagai pendidik mengarahkan dan membimbing mereka mencintai buku dan membaca.
Pendidik yang terdidik
Di hari yang bahagia bagi guru ini, saya hanya ingin sedikit berbagi dengan rekan-rekan pendidik yang berjuang di lapangan. Masalah mereka, baik di dalam dan luar sekolah, sudah menumpuk. Tidak perlu ditambah lagi dengan masalah-masalah lain yang membebani. Guru sepatutnya menjadi pendidik yang berbahagia agar siswa-siswi yang didiknya pun menjadi pribadi-pribadi yang bahagia.
Seperti disebutkan tadi bahwa guru perlu memberikan contoh yang baik kepada siswanya, salah satunya dengan kebiasaan membaca. Manfaat membaca bagi guru tentu besar sekali. Pengetahuan dan wawasan yang menyangkut langsung maupun tidak langsung pada materi pengajaran pastilah akan meningkat, dibandingkan jika tidak membaca. Dengan membaca, guru akan terus belajar dan terdidik. Sebab, mengajar bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga mendidik karakter dan memberi pengalaman hidup kepada siswanya.
Pemahaman angka akadimik dan prestasi pelajaran, sebaiknya perlu dikikis dalam pola pikir (mind set) para guru kita. Sebab, umumnya mereka masih terjebak pada hasil, bukanya menikmati proses pembelajaran yang terjadi. Akibatnya, siswa dituntut memiliki nilai tinggi di setiap pelajaran, tanpa memerhatikan kesulitan dan minat yang disukai siswa tersebut. Hal yang sering juga dilupakan oleh guru adalah "mengajar itu menyenangkan." Para guru hanya mengajar demi memenuhi tanggung jawab kurikulum, menyelesaikan kewajiban membuat siswa memunyai nilai matematika dan IPA yang tinggi di raport, bahkan demi periuk nasi di rumah. Padahal, mengajar akan membuahkan hasil yang manis jika didasari perasaan suka dan senang.
Pak dan Bu Guru, semoga celotehan mantan siswamu ini tidak membuatmu sakit hati atau bilang "Uhh.., sok tahu!" Saya cuman menuliskan apa yang telah sekelumit saya lewati dan akan terus saya jalani, berusaha menjadi pendidik yang baik.
Salam Pendidikan.
-- @yudathant --