Selasa, 28 Oktober 2014

Ksatria Pekerja Berkemeja Putih

Minggu sore, sekitar jam 17.15, Jokowi dan JK bergegas masuk ke taman Istana Negara. Langkahnya cepat, seperti biasa. Pak JK pun sampai terpaksa lari kecil untuk mengimbangi langkah “sprint” Pak Jokowi. Sesekali keduanya melempar senyum kepada orang-orang yang menyapanya saat melintas. Wajah kedua pemimpin negara itu tampak segar dengan kemeja putih dan celana hitam yang membalut tubuh mereka.

Sambil menuang segelas minuman dingin dan menjumput lalu mengunyah melinjo manis dari toples plastik, aku pun antusias mengikuti acara pengumuman “kabinet kerja” pilihan Pak Jokowi dan Pak JK. Ponsel di tangan memampang 34 nama menteri, kiriman teman seorang jurnalis dari sebuah milis di akun whatsap. “Katanya ini sudah pasti nama-nama menterinya. Hasil akhir,” begitu kata dia dalam milis.

Dalam milis itu pun disebutkan bahwa nanti, sewaktu pengenalan 34 menteri, para calon menteri akan menggenakan baju warna putih. Awalnya sih gak terlalu peduli. Tapi, sewaktu benar-benar melihat di layar TV para menteri yang dipanggil satu per satu datang dengan kemeja warna putih, rasanya hati sedikit terenyuh. Semua menteri, laki-laki maupun perempuan, mengenakan kemeja polos warna putih, yang sepertinya sama modelnya seperti yang dikenakan oleh Pak Jokowi dan Pak JK. Celana yang dipakai pun celana hitam polos. Rasanya sangat santun, bersahaja, sederhana, dan damai melihat barisan para panglima beserta nahkoda-nya berbusana warna putih.

Bukan bermaksud melebih-lebihkan, tapi pengenalan menteri-menteri baru ini terasa berbeda, segar, dan memberikan harapan baru. Tidak adak kesan glamour atau lebay yang sengaja dipertontonkan. Mereka, para ksatria, dikenalkan kepada publik sebagai pekerja dan panglima, bukan sebagai pejabat dan pembesar. Dari kemeja putih itu, sepertinya Pak Jokowi-JK ingin memberikan sebuah pesan kepada rakyat bahwa panglima-panglima yang dipilihnya adalah ksatria yang siap bekerja dan memberikan yang terbaik kepada bangsa.


Pelangi pada Tunic Romawi 
Tiap menteri memiliki gayanya masing-masing dalam mengenakan kemeja putihnya. Misal Pak Yuddy Chrisnandi, selaku Menpan, tampil dengan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana hitamnya, dengan bagian lengan yang digulung 7/8. Serupa dengan Ibu Retno Marsudi, yang didapuk sebagai Menlu, memasukkan kemeja putihnya yang sedikit kedodoran. Sementara Ibu Siti Nurbaja, Menlinghut, membiarkan kemeja putihnya terjuntai keluar dengan bagian lengan yang tertutup rapi sampai pergelangan tangan. Sedangkan yang sedikit berwarna adalah tampilan Ibu Susi, selaku Menteri Kelautan dan Perikanan, yang melilitkan scraf warna-warni pada lehernya.

Dalam benak ini masih bertanya apa alasan sebenarnya yang membuat Pak Jokowi dan Pak JK ingin para panglima perangnya tampil dengan kemeja putih dan celana hitam. Busana yang mereka kenakan membuat aku teringat dengan kostum para pekerja yang sedang magang. Pakainnya pasti hitam dan putih. Apakah Pak Jokowi-JK ingin mengingatkan bahwa para menteri yang terpilih ini adalah para pekerja mula atau pekerja magang yang akan berkarya di dalam sebuah kapal baru bernama “kabinet kerja.” Ataukah mereka sengaja ditampilkan kepada publik sebagai orang-orang bersih yang tidak akan melakukan tindak korupsi, dan tidak punya raport merah dari KPK.

Atau mungkin, Pak Jokowi-JK ingin menunjukkan bahwa para ksatria yang dipilihnya adalah orang-orang yang siap bekerja, bekerja, dan bekerja. Kesan bahwa mereka yang terpilih tidak memiliki agenda penting lain yang disisipkan oleh partai atau kelompok kepentingan yang menjadi afiliasi mereka. Tak ada warna kuning, biru, merah, oranye, hijau, ungu, dan lainnya. Hanya putih. Ini bisa diartikan bahwa mereka memiliki warna yang sama, tujuan yang sama, dan semangat yang sama, yaitu untuk kebaikan rakyat dan bangsa.

Kemeja warna putih ini mengingatkan aku pada para negarawan dan pemikir di masa Romawi-Yunani kuno. Para negarawan dan pemikir selalu tampil mengenakan tunica (baju dengan ukuran lebih pendek) atau toga (baju berukuran lebih panjang) berwarna putih. Selain perbedaan bahan, tunic atau toga putih itu memberikan kesan bahwa orang yang mengenakan adalah orang penting dan memiliki posisi tertentu. Di zaman Romawi kuno, seorang gadis akan tetap mengenakan baju putih hingga dewasa dan menikah. Orang Romawi juga yakin bahwa mengenakan baju berwarna putih akan memberikan ketenangan dan mimpi yang indah.

Dalam berbagai budaya dan tradisi, warna putih melambangkan kesucian dan kemurnian. Tak pelak, warna putih sering dikenakan oleh pengantin perempuan atau bahkan dalam upacara penyucian diri. Secara tradisional, laki-laki yang mengenakan baju putih dilambangkan sebagai bentuk kebajikan dan kepolosan. Baju berwarna putih mampu memancarkan aura kebaikan dan kesan yang tulus seseorang. Bak kanvas, warna putih bagi pelukis adalah media paling murni baginya menuangkan karya ciptanya.

Namun, menurutku, warna putih adalah hasil akhir dari penggabungan seluruh warna. Saat semua warna bertumpuk menjadi satu barisan, warna terakhir yang terlihat adalah putih. Ibarat pelangi yang membujur di langit usai hujan reda, merupakan sebuah pembiasan cahaya dari matahari. Warna putih sang surya yang kuat ternyata jika diuraikan melalui media air akan membentuk spektrum warna-warni pelangi. Jadi, seperti itulah pesan putih yang ingin disampaikan Pak Jokowi-JK melalui kemeja putih para panglima perangnya.

Yah, semoga yang aku harapkan, dan mungkin kamu dan orang lain harapkan adalah seperti itu. Bahwa Pak Jokowi dan Pak JK ingin membawa pembaruan dan mewujudkan Indonesia yang lebih baik dengan para “ksatria putih”-nya. Semoga juga, kemeja putih ini tetap putih sampai akhir masa kerja mereka, tidak tercoreng oleh warna-warna gelap, atau malah berganti dengan warna kemeja sesuai dengan afiliasinya.

Oh ya, ngomong-ngomong aku belum punya kemeja putih nih... (bukan mau dipanggil Pak Jokowi buat jadi calon menteri, tapi mau ngelamar kerjaan, hahaha...)

--  @yudathant  --