Senin, 06 Mei 2013

Menikmati Budaya dan Bunga di Surabaya


Ribuan orang sudah membanjiri Jalan Gubernur Suryo, saat matahari mulai condong ke arah barat. Cuaca Minggu (5/5) singa ini sangat cerah, malah kelewat cerah. Sebab, matahari sepertinya ikut gembira menyambut acara Parade Budaya dan Bunga 2013, menyambut HUT Kota Surabaya yang ke 720. Teriknya sengatan sang surya itu pun masih membekas sampai pulang dari pawai tahunan tersebut.

Bukan hanya di jalan di depan Grahadi ini yang dipadati manusia, tapi di sepanjang jalan dari Tugu Pahlawan-Kramat Gantun-Tunjungan-Gubernur Suryo-Yos Sudarso-Balai Kota, juga kebajiran penduduk Kota Surabaya. Mereka datang bersama keluarga, sahabat, teman sekampus, teman sehobi, kekasih, atau pun tetangga sekampung. Jalan yang biasanya padat kendaraan bermotor, kita dipadati manusia yang menikmati kemeriahan parade ini. “Gak apa-apalah, sekali-kali berjemur,” ujar seorang pengunjung yang berteduh di bawah payung warna-warninya.

Ratusan remaja putra-putri melenggak-lenggok di aspal yang panas mengenakan kostum yang bertabur bunga, kain warna-warni, pita, dan ornamen-ornamen lainnya. Ada yang menyerupai bunga mawar, kupu-kupu, buaya, burung garuda, sampai putri merak. Meski harus menahan ribuan watt sorotan matahari, mereka tetap tersenyum dan melayani warga yang tertarik ingin berfoto dengannya. Ketika ratusan fotografer mendekati mereka, sontak mereka langsung pose dan tersenyum renyah.

Setelah deretan remaja yang melenggangkan adibusana, giliran mobil hias yang melintas. Setidaknya ada 30-an unit mobil berhiaskan bunga dan miniatur bangunan atau binatang buas. Mobil-mobil hias ini bukan hanya saja dari Surabaya, tapi juga ada yang datang dari perwakilan Bandung, NTT, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah mobil hias dari NTT sebab memberi suguhan patung komodo yang merayap di atas mobil. Selain itu ada juga sosok garuda wisnu kencana yang berjalan pelan sangat gagahnya di jalanan aspal. Tak ketinggalan merak cantik berwarna kuning dari Kota Surabaya yang ditunggangi Cak dan Ning Surabaya.

Mobil maupun para peraga adibusana itu terpaksa jalan perlahan dan tersendat karena jalan selebar lebih dari 15 meter itu hanya disisakan sekitar 3-6 meter oleh penduduk yang antusias menonton. Makanya, berkali-kali petugas barikade berteriak-teriak kepada warga agar memberi ruang yang lebar kepada para kontestan. Penonton berebut ingin berfoto dengan tiap peraga yang melintas dengan busana yang unik, menarik, dan meriah. Atau dengan latar mobil hias yang melintas perlahan. Aku pun gak mau ketinggalan. “Tolong fotoin yah...,” pintaku kepada salah seorang teman kampus yang ikut menonton. (hehehehe..., narsis dikit bolehkan. kapan lagi foto-foto dengan model yang cantik dan ganteng-ganteng, hahaha..).

Boleh dibilang, peserta pawai ini seperti festival di Jember atau di Solo. Namun, yang menarik, di festival budaya ini, semua budaya yang ada di Kota Surabaya disuguhkan. Etnis Jawa memang mendominasi di Surabaya, namun sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, tak dipungkiri penduduk dari semua etnis di Indonesia ada dan hidup harmonis di kota ini. Keharmonisan dengan etnis tionghoa pun terlihat lebur dalam festival ini. Salah satunya Masjid Ceng Ho yang ditampilkan pada mobil hias salah satu kontestan. Tak ketinggalan barongsai dan liong juga ikut memeriahkan pesta budaya ini.

Bulan ini Surabaya berulang tahun. Serangkaian pesta digelar di sepanjang bulan. Selain pesta diskon di pusat-pusat perbelanjaan, pesta budaya juga ikut disajikan. Pekan depan dan selanjutnya, akan ada festival rujak uleg dan festival pariwisata. Jika masih bingung mau kemana selama bulan Mei, datang saja ke Surabaya. Dijamin Anda akan menikmati kepuasan. Surabaya memang tak punya pemandangan gunung dan pantai yang “cetar membahana” seperti kata Syahrini, tapi Surabaya punya banyak cerita yang bisa Anda bawa pulang. Come, enjoy and have fun in Surabaya.


  -yudathant-


Minggu, 05 Mei 2013

Istri Raja dan Istri Petani

Konon, di suatu masa, hidup seorang raja bersama istrinya yang terkenal rajin. Mereka berdua suka terjun melihat langsung kondisi rakyatnya. Saat tiba di deretan gubuk petani miskin, mereke berdua sedih melihat kondisi tersebut. Raja berujar iba pada nasib mereka, “setekun apa pun mereke bekerja, tetap saja hidup dalam kemiskinan. Terkadang, aku tidak memahami maksud para Dewa,” ujarnya.

Istri raja tidak setuju dengan pendapat itu. Menurutnya, ada peran perempuan yang hilang dan tak berfungsi baik dalam keluarga petani tersebut. Makanya, istri raja pun menyampaikan idenya. “Izinkan aku tinggal di dalam gubuk itu selama beberapa bulan, dan biarkan istri petani tinggal di dalam istana. Dan, kau akan memahami maksudku.”

Permintaan istri raja dikabulkan. Saat bertukar posisi, Ratu terkejut melihat betapa kotornya gubuk milik si petani. Maka, dia mulai membersihkan semua sudut rumah sampai tiap perlengkapan dapurnya. Alas rumah yang berupa tanah lembab ditutupnya dengan kotoran sapi yang mengeras bercampur bubuk kapur. Petani tidak dia biarkan duduk-duduk santai, tapi disuruhnya bekerja apa pun yang bisa dia ditemukan. Tiap sen uang yang dihasilkan petani saban sore, disisihkan (ditabung) Ratu ke dalam periuk.

Setelah beberapa pekan, si petani memiliki uang untuk membeli kambing yang susunya bisa dijual atau diminum sendiri. Di lain tempat, istri petani yang tinggal di istana masih bersikap seperti di gubuknya, bermalas-malasan, berantakan, dan bersikap kasar. Setelah beberapa bulan berjalan sesuai permintaan Ratu, nasib keuangan petani pun berubah, bahkan dia sudah tahu bagaimana seorang perempuan itu harusnya bersikap dalam sebuah keluarga.

Ratu pun berujar, “masalah ini tidak ada hubungannya dengan para dewa. Kebahagian dan kemakmuran sebuah keluarga bergantung pada pada perempuan,” ujarnya. Cerita ini aku cuplik dari buku “101 Kisah Inspiratif dari India, by Eunice de Souza.”

Kisah semacam ini bukan hanya dongeng, tapi menurutku adalah refleksi kehidupan nyata yang terjadi sampai saat ini. Perempuan di sejumlah masyarakat, komunitas dan wilayah, masih dianggap sebagai anggota penduduk kelas dua. Nasibnya, belum merdeka seutuhnya. Banyak kekangan, batasan, juga aturan yang membelenggunya. Bahkan, di masyarakat yang sudah mengaku modern pun, tetap melihat perempuan sebagai individu yang tidak penting, rapuh, dan butuh perlindungan.

Aku mau menghubungkan cerita “Istri Raja dan Istri Petani” itu dengan konsep pemberdayaan perempuan. Minggu lalu, di kelas sempat dibahas tentang indikator pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan kaum perempuan umumnya terganjal konsep kodrat perempuan yang sering menjadi “lubang hitam” sehingga sampai kini masih banyak perempuan yang tidak berdaya. Kondrat perempuan hanyalah empat, yakni menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Keempat hal ini adalah yang tidak dimiliki dan  bisa dilakukan oleh laki-laki. Sisanya, hakikat perempuan dan laki-laki adalah sama.

Untuk berdaya, perempuan harus memulainya dari level individu, keluarga, sampai lingkungan sosial. Menurut UNDP, dimensi pemberdayaan perempuan adalah pada pemberdayaan ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Pada pemberdayaan ekonomi, meliputi peluang memperbesar pendapatan, akses luas terhadap pelayanan dan penguasaan pada sumber daya. Di pemberdayaan sosial meliputi adanya lingkungan yang kondusif dan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan. Pada sektor politik dan hukum, meliputi memperbesar partisipasi dan kesempatan memberikan pendapat dan mengambil keputusan, serta menyadarkan hak dan wewenangnya sebagai warga sebuah negara yang dilindungi hukum.

Dari kisah Ratu yang berperan aktif dalam menentukan nasibnya sebagai perempuan dan istri di sebuah rumah tangga, membuktikan bahwa kesejahteraan keluarga itu bisa bangkit dari keterpurukan dengan campur tangan perempuan. Istri harusnya diberi kesempatan untuk ikut memutuskan finansial sebuah rumah tangga, memelihara lingkungan rumah tetap sehat, kondusif, dan produktif. Perempuan juga punya peran membangun keluarga dan masyarakat. Lihatlah perempuan di sekitarmu. Betapa mereka banting-tulang demi keutuhan sebuah keluarga. Tengoklah ibumu, kakak/adik perempuanmu, istrimu, atau perempuan yang baru saja kau lewati di tikungan jalan tadi. 

Tak heran jika ada kalimat singkat yang mengatakan, “dibalik kesuksesan seorang laki-laki, berdiri tegar sosok perempuan.” Maka, berbanggalah Anda yang sebagai perempuan. Mulailah Anda memberdayakan diri Anda sendiri. Bukan harus berbentuk hasil atau wujud yang "besar", tapi mulailah dari yang paling sederhana atau simple. Do it now...!, jadilah istri raja, jangan istri petani, seperti dalam cerita ini. 

-yuda thant-