Jumat, 26 Oktober 2012

Lajang atau Selingkuh ?


   Aku masih ingat dengan pertanyaan singkat Giska, seorang teman baru di kampus, di awal perkenalan kita sekitar 1,5 bulan lalu. Gadis berusia 24 tahun, lulusan jurusan bidan di Unair ini bertanya dengan cueknya. "Kamu umur berapa sih mas? udah married belum?" Karena tak (tampak) ada tendensi apa pun dalam pertanyaan itu, aku pun menjawab dengan santai dan tak canggung. "Aku dah umur 30 tahun lewat dikit. Dan belum kawin. Belum kepengen," jawabku singkat. 

   "Hah?!?! kamu udah 30 tahun tho. Kok belum nikah sih? Apa gak pengen?" tanya dia lagi, yang sebenarnya mengulangi pertanyaan di awal. "Kan udah aku bilang aku belum pengen nikah. Belum ada rencana ke sana," kataku sambil memberikan penekanan pada kalimat belum ada rencana. "Emangnya kenapa?" tanyaku balik kepada Giska yang giginya diberi pagar kawat. (entah kenapa harus dipagari? supaya tidak kabur kali yah tuh gigi-giginya). 

   "Hehehe..., kalau aku sih pengen banget nikah mas. Aku hijrah ke Surabaya ajah juga karena biar dekat ama tunanganku. Tapi gak tahu lagi sih sekarang. Soalnya kita lagi "break." Tapi aku pengen banget nikah, punya anak, lalu jadi ibu yang baik," jawabnya sambil menerawang. "Busyeeett..., lha kok gak kawin aja cepet-cepet. Beres kan, hehehe.." celetukku menimpali ucapannya. 

   Tak selang beberapa hari, dua orang teman lain di kelas, pada waktu dan tempat yang berbeda, juga "ber-statement" hampir sama seperti Giska. "Aku pikir lu dah married lho. Umur lu kan dah 30. Aku aja nikah begitu lulus kuliah (S1)," comment Mbak Elyn, yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua dari aku. Sedangkan Mbak Dini malah bilang, "aku umur segitu udah punya anak dua," ujarnya yang umurnya sama denganku. 

   Haduh..., kenapa sih orang-orang ini??? Emang ada yang salah yah dengan tidak atau belum menikah di usia lebih dari 30 tahun. Ada kah yang salah dengan menjadi lajang, jomblo, dan gak punya pacar di usia segini??? Atau jangan-jangan tidak memikirkan pernikahan dan belum mau menikah kala usia sudah 30 tahun lewat sedikit itu adalah dosa besar??? 

   Emang gak boleh kalau aku memilih jadi "bupati", bujang kepala tiga puluhan...!!! Kenapa aku gak boleh jadi bupati, sedangkan para pejabat berebut jadi bupati??? (hehe.., bupati yang satu sih enak, ada jabatan, uang banyak, dielu-elukan rakyat, dihormati PNS kelas teri, sampai sering dapat salam tempel dari pengusaha lokal. Nah kalau bupati yang satu lagi, ini gak punya nilai jual tinggi, malah cenderung disebut bapuk, lapuk, atau malah kadaluarsa, hahahaha...) 

   Tiba-tiba, semua orang jadi serba tahu dan serba care. Udah, santai ajah kali... Kan orang tua sering bilang, kalau soal jodoh tuh yang ngatur Gusti Allah. Lalu, buat apa dipikir sampai kepala botak (sayang kan, soalnya rambutku tanpa mikirin nikah aja udah banyak yang rontok, ckckck...). Positive thinking aja deh. Sapa tahu emang belum waktunya punya pacar, belum waktunya nikah, dan belum waktunya ketemu jodoh, dan si Om Penguasa Jagad Raya masih berbaik hati kasih kesempatan buat kita membujang, happy-happy dengan hidup kita sendiri. 

   Aku gak merasa sendiri kok. Soalnya, di genk ku jaman SMA, dari 10 orang yang belum nikah ada 5 orang. Rata-rata mereka juga bupati. Satu-dua orang yang belum menikah emang kepikiran untuk segera mencari jodoh. Sisanya, santai-santai ajah. Teman-teman yang nyantai itu karena sibuk mengejar target hidup yang jadi prioritasnya. Salah satunya, sedang mengejar pendidikan dokter spesialis bedah di Unair, satu lagi menekuni kariernya di dunia perbankan. Sedangkan aku sendiri, masih pengen sekolah, bebas dan berpetualang. 

   Jabatan bupati bukan dominasi laki-laki. Perempuan pun dibolehkan kok memilih jadi bupati. Ini negara demokrasi bung! Perempuan juga punya hak yang setara. Setidaknya, ada lebih dari 10 teman perempuan semasa kuliah di Jogja yang kini usianya sudah 30 tahun, masih melajang. Alasannya juga sederet. Ada yang mengejar karier yang memang lagi bagus-bagusnya. Ada yang sempat akan menikah atau sudah punya hubungan serius tapi gagal di tengah jalan, dan sekarang masih dalam tahap mencari lagi pijakan yang tepat. Atau emang belum mau menikah karena masih menikmati hidup bebas, apalagi tak ada paksaan dari keluarganya. 

   Faktor yang terakhir, paksaan keluarga, ini memang jadi momok yang paling menyebalkan bagi para bupati. Emak-babe, om-tante, budhe-pakdhe, bulek-paklek, malah kakak-adik kita yang sibuk dan bingung tujuh keliling melihat kita belum ada rencana menikah. Biasanya, mereka tuh mulai sibuk menanyakan apa sudah punya calon? Kapan nih mau nikahnya? itu kalau calon udah kita tunjukin ke mereka. Atau mereka dengan sukarela menawarkan orang-orang yang dianggap capable and proper buat kita. 

   Embel-embelnya pasti bilang begini, "Udah..., cepetan nikahnya. Nunggu apa lagi sih," Ada lagi yang comment, "Aku malah nyesel kenapa nikahnya gak lebih cepet. Soalnya nikah itu enak kok," ujar beberapa teman laki dan perempuan yang menikah sebelum usia 25 tahun. Ciyus deh, rempong banget sih mereka (bahasa anak galauers jaman sekarang). Kita ajah yang jadi bupati nyantai kok. 
  
Berdua itu mendua? 

   
   Seandainya ditakar, mana sih yang lebih untung atau lebih rugi. Jadi bupati atau menikah? Hahaha..., itu sama ajah dengan pertanyaan, duluan mana telur apa ayam. Jawabannya pasti relatif dan bergantung. Relatif bagaimana dan bergantung pada apa? Soalnya banyak banget kemungkinannya. Tiap orang pasti beda-beda hasilnya. 

   Apabila memilih melajang, apalagi sampai jadi bupati, siap-siap aja dijuluki perjaka lapuk atau perawan tua (lah kok mereka yakin yang diejekin itu masih perjaka atau perawan, kacian deh lu..!!). Belum lagi bakalan diceramahin ama keluarga, dari yang keluarga dekat sampai keluarga yang kita gak kenal dari mana hubungan keluarganya, soal kenapa kita sebagai manusia sosial harus menunaikan kewajibannya untuk menikah, dengan setumpuk alasan yang meyakinkan ala-ala seles kartu kredit. 

   Lain lagi jika menikah cepat. Kerugiannya tentu kita lebih awal kehilangan masa-masa bebas membujang, bebas berbuat apa saja tanpa butuh banyak pertimbangan pasangan (istri/suami) bahkan tanpa harus mengkompromikan dengan kebutuhan anak. Mau makan apa, mau dugem dimana, mau jalan-jalan kemana, mau berpenghasilan berapa, harus benar-benar dihitung. Kita harus bekerja lebih keras dan giat agar istri dan anak bahagia. Belum lagi harus berdamai dengan keinginan pasangan yang kadang 180 derajat bertolak belakang dengan kemauan kita. Tapi benefit-nya, kapan pun mau, ada sesorang yang bersedia (secara legal). Bahkan, mereka yang menikah, risiko terserang penyakit kanker lebih kecil ketimbang pria bujang dan perempuan lajang yang risikonya 17-18 persen lebih besar. (uppsss..., semoga kanker-nya adalah kantong kering yah).

   Satu lagi yang paling gak enak kalau udah nikah. Kita susah olahraga mata, alias jelalatan melirik pemandangan yang lebih bening. Lirik sedikit, eh ternyata ada bini atau misua yang digandeng di samping kita. Flirting-flirting dikit pun jadi gak bisa. Beda kan kalau kita masih lajang, atau masih berpacaran, dan belum menikah. We feel free to flirting or seducing someone, hehehe. Nah kalo kita nekat, ujung-ujungnya malah mendua, meniga, atau malah selingkuh. 

   Menikah berarti berdua. Nah kalau mendua itu gimana? (walah kok malah puyeng dan njelimet nih obrolanya) Ada yang pernah komentar, dengan nada candaan, selingkuh itu bumbunya pernikahan. Kalau gak ada yang selingkuh berarti belum pas pernikahannya. (Nenek lu nyimeng, mbah lu salto!!! Jadi kalau menikah kita boleh selingkuh gitu?!?!) 

   Bibit-bibit selingkuh itu emang paling gampang dan cepat munculnya. Apalagi kalau di "rumah" si pasangan lagi jenuh-jenuhnya ditambah ada masalah internal yang melibatkan inharmonis kebutuhan dan keinginan atau sampai ke soal hubungan dengan mertua. Salah satu pasangan disibukkan dengan pekerjaan, sedangkan satunya bosan gak ada kerjaan, dan merasa terabaikan. 

   Faktor eksternalnya, kita mendapat teman baru, di yang lingkungan baru, yang sepertinya lebih menarik dan asyik diajak sharing dan curhat. Teman baru ini lebih menarik secara fisik atau inner beauty, atau sama-sama lagi kesepian. Mbah-mbah di kampung pernah berucap, "tresno jalaran soko nggelibet" (jatuh cinta lantaran dari sering bertemu). Malahan, dari pengamatanku, selingkuh sepertinya jadi trend yang mewabah dan terlihat jadi kebutuhan baru pasangan-pasangan muda. Dulu, selingkuh sering terdengar hanya dilakukan pejabat atau bos-bos yang kelebihan duit. Tapi sekarang, motif dan penyebabnya lebih fariatif.

   "Gila. Kemarin sewaktu di warung, aku tiba-tiba disamperin ama cewek. Setelah dia pesan makanan, dia duduk dekat aku. Awalnya sih ngobrol tinggal dimana, kerja apa, sampai soal sudah menikah atau belum. Tahu-tahu dia cerita kalau suaminya pulang ke rumah 2 minggu sekali, karena kerjanya di Madura," ujar Setya, salah seorang anggota genk ku jaman SMA. 

   "Terus kenapa? Biasa kan obrolan kayak gitu," ujarku. "Iya sih. Tapi terus kita tuker-tukeran pin BB. Nah sampai sekarang dia itu terus BBM aku. Nada-nadanya sih pengen ngajak gituan (making love). Aku sih pengen juga, hehehe....," celetuk Setya yang sudah beristri dan punya dua anak. 

   "Gendheng kon!!! Dia kan wis nikah tho," celotehku. "Makanya itu, dia tuh pengen gituan karena ketemuan karo suaminya baru beberapa minggu sekali. Kayaknya dia juga udah biasa deh ama orang lain," jelas Setya sok tahu, yang emang punya tampang playboy dan memikat cewek-cewek sejak jaman SMA. 


   Selingkuh & menyelingkuhi pun terjadi di kampus. Berawal dari masa matrikulasi selama sebulan, tumbuhlan benih-benih cinta lokasi diantara teman sebangku. Menurut catatan data survey pandangan mataku, ada dua kasus benih mendua yang terendus. Si laki-laki sudah menikah dan punya satu anak balita, sedangkan si perempuan adalah gadis muda yang menarik dan siap menikah. Satu lagi, pasangan yang sama-sama sudah punya suami dan istri di rumah, tapi terlihat akrab saat di kampus. Meski beda jurusan, mereka kerap menyempatkan bertemu di sela-sela jam kuliah. 


   "Pokoknya saya ingatkan ya. Meski kuliah, jangan sampai keluarga dikorbankan. Jangan sampai ada yang cerai. Soalnya sudah pernah terjadi," ujar seorang dosen mengingatkan para mahasiswanya, di awal masa perkuliahan. Meski tidak menjelaskan apa penyebab perceraian itu, tapi jawabannya mengarap pada perselingkuhan. 

   Weleh weleh weleh..., jadi makin runyam kan pilihannya. Mau menikah dengan risiko "main api" atau melajang dengan risiko jadi ejekan perjaka lapuk. Walau keduanya sama-sama bakal jadi bahan gunjingan, sepertinya aku pilih jadi bupati aja deh. Bupati terlihat lebih terhormat, meski tak nikmat dilihat. Melajang tak harus olahraga jantung karena main petak umpet supaya aksi perselingkuhan tetap terbungkus rapi dan cantik. Melajang pun tak perlu menyakiti dan tersakiti. Paling-paling siksaan batin karena kok sampai setua ini belum laku-laku, wakakakaakakk....

   Sekali bupati tetap bupati, hahahaha... Berfikir positiflah, sapa tahu besok jodohnya malah bule Perancis, yang kalau jalan bareng bisa buat ngiri teman-teman yang udah buru-buru nikah muda. Sapa suruh nikah cepat-cepat!!!  hahaha...
  


-yuda thant-



Kamis, 25 Oktober 2012

Bajakan


Di sebuah kios toko buku ukuran 2m x 2m, di lantai dasar pasar yang sedikit pengap dengan aroma campur aduk antara bau makanan dan bau yang apek dan lapuk. 

thant : Berapa harga bukunya pak
seller : Harganya Rp 20.000 
thant : Berapa pak? (antara kaget dan gak yakin)
seller : Rp 20.000 mas 
thant : Gak bisa kurang pak? Rp 15.000 ya pak? (meski tahu harganya sudah super murah, tapi tetap nawar supaya bisa dapat harga yang lebih murah)
seller : Hmm, gak bisa. Harganya pas 
thant : Segitu ya pak..., hmm.. (sambil pura-pura mikir, biar meyakinkan kalo duitnya pas-pasan) 
kris    : Rp 20.000 lho mas. Murah banget (sambil berbisik, dan antusias) Tadi buku yang ini harganya di toko yang tadi sekitar Rp 50.000. Tahu gini aku beli di sini (keluh kris yang baru saja membeli 2 buku yang harga totalnya hampir Rp 100.000)
thant : Iya yah.., (sambil membolak-balik buku setebal 2cm yang masih terbungkus plastik) Emang murah si boss (mengiyakan statement si kris) 
kris    : Nek aku belum beli dulu mas. Bulan depan ae. Duitnya wis habis buat beli buku di toko tadi (dengan nada sedikit mengeluh)
thant : Iya pak, aku jadi beli bukunya (sambil membuka dompet dan mengambil satu-satunya uang bergambar I Gusti Ngurah Rai di dalamnya, lalu menyerahkan kepada si penjual)
seller : Ini mas bukunya, ini kembaliannya.


Transaksi jual-beli buku pun berakhir. Lalu muncul pertanyaan. Mengapa harga buku yang sama, -- judul, pengarang, gambar sampul, dan isinya -- harga jualnya bisa beda. Di toko buku Manyar Jaya, harganya sekitar Rp 40.000-Rp 50.000, itu pun sudah dapat diskon 25 persen, sedangkan di salah satu lapak kios buku di Pasar Blauran, harganya hanya Rp 20.000. Hmmm...., kok bisa ya??? 



The answer is simple, "bajakan". Yup, buku yang baru saja aku beli adalah buku bajakan. It's hundred percent pirated.

Selintas, kalau dari cover, buku yang aku beli emang mirip dengan aslinya. Tapi setelah dicermati, harga emang gak bisa bohong. Kualitas kertas dan cetakan pada buku yang lebih murah itu memang jauh dari sempurna. Kertasnya tipis, tulisan yang tercetak di halaman-halaman putihnya itu kabur, miring-miring gak jelas, dan seperti hasil fotocopy-an. 


Tapi gimana lagi yah..., namanya juga mahasiswa yang "tak berpenghasilan" buku bajakan sepertinya jadi solusi terbaik. Maklumlah, kalo harus beli buku yang asli, seperti yang sebelumnya aku lakukan, kerasa banget beratnya. Sebelumnya, aku dah sempat beli buku untuk bacaan tambahan materi kuliah. Udah hampir Rp 300.000 uang aku keluarin dari dompet, tapi cuma dapat 6 buku. Waduh..., kalau ini diteruskan, bisa-bisa bangkrut nih bandar. 



Fenomena buku bajakan, honestly, sudah aku kenal 12 tahun lalu, sejak kuliah di Jogja. Di kota pendidikan itu, buku-buku bajakan bertebaran dengan maraknya. "Shopping", sebuah pasar dekat Pasar Bringharjo/Malioboro, adalah salah stau tempat favorit untuk belanja buku bajakan. Selain itu ada juga di toko-toko buku kecil di daerah Gejayan. Buku bajakan, adalah alternatif buat kita punya buku bacaan selain memfotocopy buku perpustakaan. 


 
Selepas kuliah, dan sudah mulai kerja, dan tentunya beruang, buku bajakan pun keluar dari daftar belanjaan. Tempat belanja buku juga "pilih-pilih." Cari yang nyaman dan lengkap. Soalnya sekalian buat window shopping. Tapi, di tengah jalan, karier harus distop sementara untuk kuliah lagi. Karena tidak lagi menerima "dana segar" tiap bulan, terpaksa lah, buku bajakan jadi pilihan tepat untuk sementara waktu. 



"Penyakit endemik" yang sudah ada sejak jaman dulu, mungkin begitulah realita buku bajakan. Hal ini terasa banget di kota-kota besar yang banyak terdapat kampus dan perguruan tinggi. Harga buku-buku yang ditawarkan di pasar buku bajakan, bisa sampai 70 persen lebih murah dari harga buku aslinya. Jadi, tak heran, buku bajakan masih menjadi magnet bagi mahasiswa atau penikmat buku yang berkantong cekak. Salah satunya adalah aku. Tidak ada asap jika tidak ada api. Adanya permintaan buku bajakan muncul karena harga buku yang melangit. Tiap saat, harga buku terus saja naik. Makin lama makin tak terbeli. Itu buku-buku lokal, gimana dengan buku-buku impor? Wuiiihhhh.., tambah mahal cingg...

 

Namanya juga bajakan, pasti ilegal, murah, tapi melanggar aturan yang udah dibuat. Bicara soal aturan, hal-hal terkait pembajakan itu sebenarnya melanggar hak cipta sebuah karya, yang termaktub dalam UU Hak Cipta nomor 12 tahun 1997. Hukumannya pun gak tanggung-tanggung, sampai 7 tahun penjara atau denda Rp 5 miliar. (Waduuuhhhh..., lha kok besar yah dendanya..!!!) 



Di satu sisi, saat kita membeli produk bajakan, --entah itu buku, film, baju, sepatu, sampai celana dalam-- sebenarnya kita sudah melakukan sikap tidak menghargai karya orang lain. Sebab, karya yang dihargai dengan nilai rupiah itu adalah kerja keras mereka (khususnya karya dan produk intelektual) yang gak sehari-dua hari proses ngebuatnya. Jika tabiat tak menghargai ini dibudayakan, jangan heran kalau kita gak akan pernah dihargai dan dihormati oleh orang lain. 


 
Impitan ekonomi berbenturan dengan kebutuhan intelektual yang "menggila." Di satu sisi, budaya membaca pada sebagian masyarakat kian meningkat. Tapi, status eknomi mereka membuat keterbatasan dan kemampuan membeli buku yang diinginkan. Meski sudah ada perpustakaan, bukan berarti kita bisa membaca semua buku yang (benar-benar) diinginkan. Selain harus mengantre, belum tentu buku itu selalu ada saat dibutuhkan. Akan beda jika kita memiliki sendiri buku-buku favorit yang sudah kita incar. Rasanya seperti memiliki harta yang tak ternilai.


Jadi ini salah siapa? Aku harus bagaimana?


"Sing penting iso diwoco mas. Wislah..., Bajakan gak opo-opolah. Kan sing penting isine," ujar kris yang masih kesal karena terkena winner's curse (kutukan pemenang). 








 








-yuda thant-
 






Jumat, 19 Oktober 2012

Di Ujung Kemarau

Sudah dua kali Surabaya diguyur hujan. Meski itu hanya gerimis tipis. Udara kota yang sesak ini pun mendadak sejuk. Dan gerah di badan terasa hilang sesaat. Sayangnya, buliran air langit itu pun langsung menguap terkena sisa-sisa panas yang masih melekat di malam hari. Dan Surabaya panas kembali. 

Ini lah yang aku rasakan hari ini. Seperti disiram hujan di ujung musim kemarau. Enam bulan aku tidak berpenghasilan. Dan selama itu pula aku tidak merasakan detik-detik penantian "upah" bulanan masuk ke rekening. Selama setengah tahun, uang di rekening makin mengempis dan menyusut. Soalnya, tiap minggu ditarik tunai dari mesin ATM, sedangkan selama itu juga tak ada yang memasukkan uang ke dalam rekening itu. Huuuuhh...., seret rasanya..

Akhirnya, aku menerima "upah" dari hasil keringat yang bercucuran selama 3-4 hari kemarin menggarap karya kreatif. Jika dibandingkan dengan salary di kantor yang dulu, wuuiiihhh..., jauh banget, alias njomplang. Proyek bikin video slide untuk acara kantor temanku, itu membuahkan upah senilai sebuah printer canon standar. Atau kalau ditakar, hanya 1/16 dari gaji terakhir yang diterima sewaktu kerja dulu. 

Kalau mau banding-membandingkan, emang gak imbang banget. Bagikan langit ama bumi. Upah baru diterima, otak pun sudah langsung berfikiran konsumtif. Banyak banget yang mau dibeli. Mulai dari sepatu, baju, sampai mau traktir nonton ponakan. Maklum dulu kan statusnya "beruang" kalo sekarang "berutang." Tapi ada kewajiban yang prioritas harus dibeli yakni printer, yang sudah direncakan jauh-jauh hari sebelum Bella swan ketemuan ama di Edward Cullen (hehe..), supaya kalo ada tugas-tugas kampus gak keteteran. (anak kampus nih yee...)

Meski upah ini kecil, tapi aku harus bersyukur. (Harus..!!) Soalnya, semua jalan pasti ada gerbang permulaannya. Dia sudah membuka sedikit jalan dan kesempatan rezeki buat aku, dan semoga ada jalan-jalan yang selanjutnya. Nyokap pernah bilang, "jangan selalu melihat ke atas. lihatlah ke bawah, karena di bawah masih banyak yang lebih gak beruntung," Itu sepertinya pesan buat aku agar selalu bisa mensyukuri berapa pun (rezeki) yang Dia berikan. Jangan sampai serakah dan berkecil hati ama yang sudah kita peroleh. Apalagi kalo dapetnya halal, gak pake acara korupsi-korupsi-an. 
 
Well, hidup kan memang bukan untuk kaya atau duit, tapi hidup tetap butuh duit. Jadi, ayo cari kerjaan lagi supaya bulan depan punya duit buat senang-senang sekalian jalan-jalan, hahaha.., Soalnya udah sekarat lebih dari sebulan gak jalan2 backpackeran nih. Yang jelas, hidup harus penuh warna dan jangan sampai terasa "datar" dan menjemukan. 


 Any way, thanks God. (Om Dewa Sukma Parama Acintyaya Namah Swaha sarwa Karya Parasidhantam, Om Santhi Santhi Santhi...




- yudathant -