Selasa, 31 Juli 2012

Terdampar di Planet Mars


Sehari-hari duduk dan tiduran di depan televisi ternyata membosankan. Tak ada lagi yang baru di layar kaca itu. Semuanya berulang. Mulai dari sinetron yang isi dan ceritanya itu-itu saja, kabar-kabur selebritas dunia hiburan yang diputar berkali-kali sampai muak rasanya perut, hingga berita pengusutan kasus korupsi yang tak pernah tuntas dan tak tahu sampai kapan episodenya akan berakhir. 

Entah mengapa, kotak ajaib itu sudah tak semagis dulu. Padahal bentuknya lebih modern, sudah lebih banyak model, pilihan stasiun televisi, sampai program acara. Tapi apa yang disuguhkan ternyata setali tiga uang. Sama, atau mirip-mirip dan setipe. Tak bervariasi.

Hampir selama empat bulan sejak aku berhenti dari pekerjaan, televisi kupilih jadi teman sejati. Kotak berisi piksel warna-warni itu selalu menyala mengisi hari-hariku yang kosong tak produktif. Namun apa yang kuperoleh. Tak ada, malah menambah kesepian yang selama ini coba aku hilangkan dan jauhkan. Suaranya yang bising malah membikin kepalaku pening dan menjadikan aku makin terasing. 

Awalnya, memang mengasyikan jadi penganggur dengan uang pesangon gaji sebulan dari kantor lama. Dua bulan pertama, aku benar-benar menikmatinya. Pergi ke mana pun aku mau dan kemana pun teman mengajak. Semua terasa menyenangkan, apalagi uang di dalam kantong dan rekening masih cukup tebal buat bersenang-senang. "it's party time," begitu sorak-sorai benak terdalamku.

Tapi, ketika rupiah menipis dan kebosanan menyergap di tengah malam, barulah kusadari menjadi orang yang tak punya pekerjaan sungguh menyedihkan. Tak berpenghasilan, tak punya kegiatan produktif, dan tak punya teman sekantor yang bisa diajak diskusi, bersaing mendapatkan prestasi dan bonus, bahkan beradu otot mempertahankan ergumentasi. Aku makin kehilangan semangat memasuki bulan keempat, sebab tak punya tujuan yang jelas hendak melangkah kemana.

Aku seperti terdampar di planet yang dalam cerita-cerita komik penduduknya berkulit hijau. Berdiri sendiri di ujung tebing cadas planet yang posisinya keempat dari matahari dalam susunan tata surya galaksi bima sakti. Mengarungi hamparan gurun merah tanpa tahu arah di Planet Mars yang dianalogikan rumah bagi kaum adam. Di planet yang serba bergelora dan bergairah itu, aku tersesat. Di saat semua bekerja keras, tapi mengapa aku hanya berdiam diri. Di saat teman-teman sibuk dengan cita-cita dan mimpinya, mengapa aku malah jadi penonton yang tak tahu cara menikmati tontonannya.

Sekarang aku hanya bisa menunggu. Menunggu waktu yang akan membawaku mendarat di tempat yang hendak aku tuju. Di planet mars ini aku transit. Berganti pesawat ulang-alik yang menurunkanku dari stasiun lama hijrah ke stasiun yang baru. Sayangnya, masa transit ini terasa lama sekali. Pesawatku baru akan menjemput 1,5 bulan lagi. Semoga saja, ketika pesawat itu datang, aku akan benar-benar sibuk, bekerja, berkarya, berproduksi, dan berguna. Tak lagi terdampar di tengah meriahnya planet mars.

Kesepian di planet merah membuatku merana. Jauh dalam relung otaku, aku menginginkan seorang teman perjalanan yang bisa saling bercerita dan bercita-cita. Membutuhkan teman untuk tertawa, bersedih, dan bermimpi. Teman yang tahu bilamana karibnya terluka atau sohibnya terlena. Sesorang yang mengisi kekosongan jiwa, bukan semata-mata kepuasan nafsu belaka. 

Sayangnya, pencarian ini belum berujung. Aku masih kesepian dan mengutuk pedasnya langit merah di planet ini. Dimana dia bersembunyi? Apakah dia juga tersesat seperti aku? Ataukah sedang berkelana mencari diriku? Biarlah kalau begitu aku menunggu. Menunggu hingga ujung waktu untuk terbang bersama pesawatku. 

Lelah aku sebenarnya. Tapi mungkin, ini salah satu episode hidupku yang harus dilewati. Eposide terdampar di planet mars, yang menguras energi padahal tak mengeluarkan keringat sedikitpun. Ini adalah proses hidup, hidupku khususnya, yang harus bisa aku jalani dan aku menangi. Berat, yah berat tentunya. Semoga saja bara semangat yang menyala redup itu mampu bertahan sampai akhir episode terdampar ini. "keep fight bro, don't let your fire shut down, even a second"

-yuda thant-


Senin, 30 Juli 2012

Mengintip Jaga Bayan

Malam sudah pekat. Dentang lonceng 12 kali baru saja lewat. Sinar jingga lampu jalan di atas kepala mengiringi tiap langkah menyusuri sisi kota tua. Toko-toko yang berimpit-padat nan riuh kala siang benderang, terdiam sunyi menutup diri saat bulan menari di langit tinggi. Meskipun tak ingin berhenti, sudah waktunya laskar menyudahi perjalanan singkatnya mengintipi sejarah di kampung sarat histori.
Surabaya memang “Kota Pahlawan.” Tiap sudut, sisi, dan petak di kota ini meninggalkan kisah sejarah yang sayang dilewatkan. Kota yang terkenal dengan semangat juang arek-areknya, perobekan bendera “merah-putih-biru” (Belanda) menjadi dwi warna, “merah-putih” di atas Hotel Majapahit, hingga semboyan “merdaka ataoe mati” ini terus melekat hingga  kini.
Namun, banyak kisah-kisah heroik yang melekat pada sejarah perjuangan dan pergerakan arek-arek Surabaya itu tak terungkap atau terpublikasikan pada buku sejarah. Cerita itu pun menjadi dongeng, atau terekam pada buku-buku tua nan tebal, tak jarang berbahasa asing, khususnya bahasa Belanda. Terbukti pada vakansi yang aku iringi Sabtu (28/7) malam lalu, bersama dengan teman-teman dari Roodebrug Soerabaia.
Acap kali aku melintasi Jalan Kramat Gantung dan Bubutan, yang posisinya sejajar, di sebelah selatan Tugu Pahlawan. Namun, baru kali ini aku tahu bahwa kawasan itu menyimpan kisah sejarah tak terungkap. Kramat Gantung, misalnya, merupakan kawasan pecinan yang masih mempertahankan eksistensi tradisi budaya leluhurnya hingga kini. Daerah tersebut dinamakan “kramat” karena dulunya ialah pemukiman para tokoh pemerintahan. Sehingga, nama-nama kampungnya dinamai seperti nama status jabatan, seperti Jaga Bayan (carik desa) dan Kepatian (patih). Konon, daerah Kramat Gantung dan Bubutan merupakan kawasan keraton Surabaya.
Sebagian rumah dan bangunan di kedua kawasan itu masih terawat keotentikannya. Mulai dari bentuk tembok, atap rumah, pintu dan jendela, hingga gembok pintu yang dipasang, masih ada yang antik. Di beberapa kampung, terlihat juga semacam pos jaga (ronda) yang terletak di atas gapura pintu masuk gang (jalan kampung). Diletakkan di atas gapura mungkin agar supaya pengawasannya lebih seksama, dan tidak sekadar formalitas seperti pos kamling yang banyak dibuat di kampung-kampung modern.
Di Jalan Bubutan, aku baru tahu ada Monumen Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama, yang terletak di sisi kiri kantor cabang NU Surabaya. Menurut pengurus, yang juga cucu dari pelaku sejarah di Kota Surabaya, sebagian besar bangunan dan interior kantor itu masih asli, dan diperkirakan sudah berusia 100 tahun. Terlihat dari lantai marmernya yang terpasang bak karpet batik juga joglo dan bagian atapnya. Seperti kebanyakan rumah tinggal jaman dulu, selalu disediakan pintu samping yang sempit dengan lorong gang panjang. Katanya, pintu ini digunakan para perempuan yang hendak keluar rumah, sebab zaman dulu, perempuan jarang diperbolehkan lewat pintu utama, terlebih pada malam hari.
Berdasarkan kisah kakeknya, si pengurus NU itu bercerita, Bubutan adalah kawasan santri di Surabaya pada tahun 1940-an. Para santrilah yang ikut berjuang membantu tentara dan patriot mempertahankan kota ikan Sura dan Buaya ini dari agresi tentara Sekutu. Mereka jugalah yang ikut menumpahkan darah pada pertempuran 10 November 1945. Tak hanya itu, para kiai di kawasan santri ternyata memompa semangat juang Bung Tomo, penggerak perjuangan arek-arek Suroboyo. Termasuk ikut membantu merebut stasiun radio milik Jepang,  untuk menyiarkan kemerdekaan RI ke kawat dunia.
Satu fakta menarik lagi. Ternyata, sebagian pasukan Gurkha yang merupakan bala tentara pihak Sekutu membelot dan malah membela pejuang Surabaya. Tentara Gurkha yang membelot adalah yang berasal dari Pakistan, sedangkan yang dari Nepal tetap membantu Inggris. “Kalau saja tidak dibantu tentara Gurkha dari Pakistan, mungkin tentara kita akan kewalahan,” tambahnya. Oleh sebab itu, di kawasan itu banyak dijumpai warga keturunan Pakistan, yang merupakan anak-cucu tentara Gurkha yang akhirnya menetap di Surabaya.  


 
foto’s notes : (serah jarum jam, mulai dari pojok kanan atas)
1.      Kantor cabang Nahdlatul Ulama Surabaya, diperkirakan dibangun tahun 1901
2.      Monumen Perjuangan 10 November, di Taman Centhong
3.      Aktivitas santri sedang mengaji di dalam Kantor cabang Nahdlatul Ulama Surabaya
4.      Jembatan tua di atas Sungai Kalimas di Peneleh, dibangun semasa dengan Jembatan Merah
5.      Rumah tua dengan gaya Eropa di daerah Peneleh
6.      Salah satu rumah jaga di atas gapura gang, di Jalan Kramat Gantung (sewaktu ngambil gambar hampir disambar ama bus kota--red)
7.      Kampung Kepatian, di Jalan Kramat Gantung
8.      Rumah HOS Tjokroaminoto, di Jalan Peneleh VII, yang kini menjadi gedung cagar budaya

 Perjalanan berlanjut. Di ujung pertemuan Jalan Kramat Gantung-Bubutan, terdapat Monumen Centong. Dinamakan centong, sebab taman tempat berdirinya patung seorang pejuang membawa bambu runcing bentuknya seperti sendok nasi. Dulunya, sebelum hancur berantakan oleh bombardir tentara Sekutu, monumen itu berupa tugu biasa untuk menghormati pengorbanan seorang relawan red cross Inggris di Aceh. Sekarang monumen yang dibangun tahun 1970 itu untuk menghormati semangat juang arek-arek Suroboyo dalam pertempuran 10 November 1945.
Berjalan sekitar 100 meter dan menyeberangi jembatan tua, tibalah di Kampung Peneleh (Peneleh gang VII). Di sana terdapat rumah joglo khas Surabaya milik Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, bernomor 29-31, bercat hijau dan masih terawat rapi. Sayang, penjelajahan ini dilakukan malam hari sehingga tak bisa melihat kondisi di dalam rumah itu. Di rumah inilah, Ir Soekarno dan Dr Soetomo pernah “nge-kos” dan menimba ilmu dari pemilik rumah, yang juga tokoh penting Sarikat Islam. Konon, pemuda bernama Soekarno pernah menaruh hati pada putri HOS Tjokroaminoto, namun sayang cinta mereka bertepuk sebelah tangan. (Jadi bertanya-tanya, apa dulu Soekarno sempat merasa galau gak sih karena cintanya ditolak??) 
Yah.., akhirnya perjalanan selama dua jam ini harus berakhir. Sudah lewat jam malam, begitu seloroh seorang peserta 3 in 1 on the road Roodebrug Soerabaia. Tapi jangan khawatir, vakansi selanjutnya pasti akan lebih seru.
Bak musafir merindukan air karena dahaga, begitulah rasa ingin tahu yang kini tercipta. Sejarah memang tak pernah habis bercerita, karena tiap jengkalnya punya makna. Biarpun malam bertambah gelap, biarkanlah aku tidak terlelap, karena ku tak ingin malam ini berlalu sekejap.
-yuda thant-


Jumat, 27 Juli 2012

Pendidik yang Ikhlas

Masih melekat dalam kotak memoriku, ironisnya pendidikan di daerah pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk kota besar. Bukan hanya di luar Pulau Jawa, kadang realita yang menguras rasa pedih di hati ini pun terpampang di desa yang jaraknya kurang dari 100 km dari ibu kota kabupaten/provinsi.
Aku beruntung, atau mungkin malah tidak, karena diberi kesempatan melihat sendiri ketidak-adilan yang terjadi itu, saat bekerja di tanah Cenderawasih selama 1,5 tahun. Mataku terbelalak dan hatiku perih. Bayangkan, sistem pendidikan yang berlangsung di kampung-kampung dan kebanyakan distrik (kecamatan) yang jauh dari pusat kabupaten/kota, ternyata lebih parah dibandingkan sistem pendidikan yang aku nikmati sewaktu duduk di bangku sekolah dasar dulu, 20 tahun yang lalu.
Bagi murid, minusnya fasilitas sekolah, ketiadaan buku pelajaran, bahkan absennya guru mengajar merupakan hal wajar saat mereka mencicipi ilmu pengetahuan. Jangan harap melihat papan tulis yang bagus, bangku yang kokoh, guru yang hadir tiap hari, atau alat-alat peraga yang membantu penyampaian materi pelajaran yang lengkap. Sekadar peta Indonesia atau tabel perkalian dasar pun tak terpasang di dinding. Padahal, semangat belajar mereka menggelora. Jadi, jangan heran apabila menjumpai beberapa anak-anak sekolah dasar kelas IV hingga VI yang belum lancar berhitung dan membaca.
Seperti beberapa siswa di Kampung Mokwam, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, yang kutemui setahun lalu. Waktu itu, kebetulan sebulan menjelang ujian nasional, aku berkunjung ke sekolah dasar yang tiap kelas hanya berisi 5-12 anak saja. Aku menawarkan diri membantu seorang guru bantu, yang lulusan SMA, memberi pelajaran tambahan berupa soal-soal latihan ujian, seperti yang biasa diperoleh anak-anak di kota besar. Saat aku minta salah seorang anak itu membaca soal, apa yang aku dapati? Bocah perempuan yang  berusia sekitar 12 tahun itu terbata-bata membacanya. Demikian pula saat aku minta anak-anak mengitung menjumlahan angka ratusan, butuh waktu 10 menit untuk menyelesaikannya. Cara menghitungnya pun masih dengan menderetkan pagar lidi di kertas atau mejanya. Hebat! Gumanku dengan perasaan miris sekaligus sedih.
Di sini hanya ada lima guru tetap (pegawai negeri sipil), tapi mereka jarang masuk. Yang sering mengajar malah guru bantu yang jumlahnya dua orang,” kata guru bantu yang berusia 20-an tahun itu. Tak jarang, guru harus menggabungkan murid dari dua kelas menjadi satu, seperti kelas V dan VI digabung jadi satu, atau kelas 1 dan kelas 2. Sementara di sekolah setingkat SMP, malah kekurangan guru, sehingga beberapa mata pelajaran penting, seperti fisika, bahasa inggris, dan matematika, diajarkan oleh guru bidang studi lain.
Hal serupa pun aku jumpai di Kampung Siboru, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, terletak di tanjung kecil, yang harus ditempuh dengan perahu untuk sampai ke sana. Waktu itu, aku berkunjung ke tempat pengabdian seorang kawan yang menjadi guru sukarelawan selama setahun. Dilihat dari fisik gedung dan fasilitas memang mencukupi, tapi kehadiran gurunya malah lebih sering absen dari pada muridnya. Banyak sekali alasan guru pergi meninggalkan tanggung jawabnya mengajar, seperti urusan keluarga atau pergi ke kota urusan dinas, tapi baru kembali lagi seminggu atau malah sebulan kemudian.
Seringnya guru yang absennya sempat diakui oleh wali murid, bahkan oleh kepal dinas pendidikan di kabupaten itu. Meski meresahkan, tapi belum ada sanksi tegas bagi para pendidik itu karena tenaga mereka memang benar-benar dibutuhkan. Perbandingan sekolah dengan ketersediaan guru belum sebanding. Sebuah dilema. Sayangnya, tak banyak guru yang benar-benar iklas dan punya semangat sebagai pendidik. Sebagian hanya melihatnya semata-mata profesi yang kesejahteraan hidupnya dijamin oleh negara.
Aku pun jadi gemas sendiri. “Mana itu pahlawan tanpa tanda jasa?!,” pikiranku menggugat realita pahit ini. Kemana mereka? Dimana mereka saat murid-murid ini butuh diasuh, diajar, dan dididik dengan segudang ilmu pengetahuan. Jangankan hadir di sekolah, cara mengajarnya pun sekenanya saja. Asalkan sesuai kurikulum atau silabus dinas pendidikan, tak sadar kalau anak didiknya belum lancar membaca dan berhitung. “Kalau nilainya kurang, nanti dibantu oleh gurunya,” ujar seorang wali murid yang kecewa dengan sikap apatis sejumlah guru di sekolah anaknya. 


Soal sikap apatis guru, jangankan di daerah terpencil, di daerah kota pun masih sering dijumpai. Keponakanku yang duduk di bangku SMA di Pasuruan, Jawa Timur, berseloroh, “Santai aja om, soal ulangan (Bahasa Indonesia) sudah diberi tahu sama gurunya. Asal menghapalkan semua kisi-kisinya pasti nilainya bagus. Gak perlu belajar semua materi, toh gurunya juga gak pernah ngajarin materi-materi yang ada di buku,” ujarnya. Lho kok gini ya?!?!?!, aku menggerutu sendiri.
Memang sih tidak semua guru apatis. Masih banyak kok guru yang peduli dengan pendidikan anak didiknya. Tapi, bagaimana nasib pendidikan di daerah, khusunya daerah pinggiran, dimana sistem kontrol dari orang tua, masyarakat, dan pemerintah daerahnya relatif sangat lemah. Tak ada yang mengontrol kerja guru, (maaf) yang tak ikhlas dan berkomitmen mendidik muridnya.
Lalu, mengapa masih ada saja guru yang apatis dan cuek dengan kualitas pendidikan? Padahal, dampaknya panjang bak deretan kartu domino yang berdiri sejajar dan sewaktu-waktu bisa rubuh tertiup angin. Seperti, angka kelulusan yang rendah dengan syarat kelulusan yang mencekik leher, atau kualitas lulusan yang tak mampu bersaing dengan siswa lain saat duduk di jenjang pendidikan lebih tinggi. Ujung-ujungnya, mimpi dan masa depan anak-anak didik tersebut pun kabur menguap tanpa arah yang jelas.
Mungkinkah para pendidik ini sudah enggan bersikap ikhlas, kreatif, dan malas belajar, sehingga mereka hanya menjalankan kewajiban seperti mesin (robot) sesuai menu kurikulum yang diorder. Mungkin juga tak adanya reward and punishment yang diberlakukan sehingga  rasa tanggung jawab mereka terkikis pelan-pelan. Ataukah gaji yang tak sepadan dengan pengorbanan?
Dan, memang tidak mudah menjadi pendidik yang ikhlas. Yang tak terjebak dalam tujuan mengejar pangkat, honor, atau status. Sebab, ikhlas berarti pendidik harus bisa jujur, tegar dalam menghadapi jutaan masalah belajar-mengajar, sabar dan berniat pada satu tujuan, yakni mencerdaskan sekaligus mencerahkan anak-anak didiknya. Hal ini tak segampang membalikkan mangkuk kosong, tapi tak ada salahnya kita mulai dari sekarang. Sebab, pendidiklah (guru) yang membangun pondasi mimpi besar tiap anak-anak didiknya. 

-yuda thant- 

(Tulisan ini untuk Mengikuti Kompetisi Blog Sampoerna School of Education)

Pohon yang Dermawan



dalam lagunya, ebiet selalu minta kita bertanya kepada rumput yg bergoyang 
dalam pepatah, menjadi rumput lebih beruntung ketimbang pohon tinggi menjulang
sebab, makin meninggi, semakin besar pula beban dan risiko hidup yg ditanggung pohon


tidak salah, begitulah nasib pohon yang tak pernah lelah jadi dermawan dalam hidup ini
pohon tidak pernah berhenti menyerap racun karbondioksida dan memberi nafas oksigen bagi kita meski diam membisu, dia hadir sebagai harapan, tempat berlindung, dan jadi pangkal kehidupan


sewaktu kecil, pohon jambu di depan rumah jadi sarang anak-anak berburu buah gratis
sewaktu hujan, pohon angsana melindungi pengguna motor yg lupa membawa mantel 
kala terik, pohon mangga pun memberikan kesejukan lewat tarian dedaunya yg tertiup angin


banyak yg abai pada nasibnya, bahkan mencampakannya karena terlihat sebagai penghalang
dia dipenggal, digulingkan, dijatuhkan sesuka hati kita tanpa pernah berterima kasih kepadanya 
kini aku ingin bertanya pada rumput yang bergoyang seperti yang dianjurkan oleh ebiet, apakah aku bisa menjadi pohon yang selalu memberi tanpa pernah berteriak meminta imbalan

-yuda thant- 




Minggu, 22 Juli 2012

Dulu, Aku juga Anak-anak

Wajah Wina cemberut, saat kedua kakaknya, Rama dan Arma, menerima dua amplop putih berisi uang dari kerabat yang datang ke rumah neneknya. Wajahnya sontak berubah kecut dan selalu membuang muka sewaktu digodai mamanya. Bocah berusia empat tahun ini protes karena dia tak menerima uang sepeser pun dari para tamu undangan, seperti kedua kakak laki-lakinya yang pagi tadi dikhitan. 

Ekspresi polos kecemburuan Wina membuatku tersenyum berulang kali. Tak ada topeng di wajahnya. Dia hanya menyuarakan kecemburuan isi hatinya. “Aku juga ingin dapat duit seperti Kakak,” pikirnya, meski dia sendiri tak tahu untuk punya uang banyak-banyak. 

Banyak hal yang kita petik dari masa kecil dulu. Pelajaran berharga, pengalaman, kejujuran, keterbukaan, keceriaan, kesetiaan, hingga yang paling menyakitkan seperti kebencian dan kegelisahan. Semua menumpuk lapis demi lapis, membentuk seperti kita saat ini.
Masa kanak-kanak adalah masa yang menyenangkan dan penuh kenangan. Saat-saat dimana kita (atau mungkin saya) tak memikirkan banyak hal. Yang ada di dalam otak hanyalah bermain dan bersenang-senang, meski itu bermain dengan segala kesederhanaan dan bergembira sengan segala keterbatasan. Tiap hari hanya berpikir bagaimana caranya bisa kejar-kejaran dan main go-back-shot-door (galasin) dengan teman-teman di lapangan, naik sepeda keliling kampung, mengejar layangan  putus (walaupun tak piawai bermain layangan), dan jajan sepuasnya dengan uang Rp 100. 

Aku tak pernah memikirkan punya uang atau tidak. Aku tak memusingkan nanti malam makan apa. Aku tak bersedih hati apakah aku ini anak yatim atau anak piatu. Aku juga tak stres harus menikah dengan siapa nantinya. Karena aku tidak punya tanggung jawab dan keharusan untuk memikirkan itu semua. Yang kutahu (saat itu, sewaktu usia TK-SD), aku ingin bermain, bermain, dan bermain. 


Lain lagi dengan sahabatku, TYR. Masa kanak-kanak yang membekas dalam kenangan indahnya adalah menunggu kehadiran ayahnya yang pulang kerja tiap sore, apalagi setelah pulang tugas dari luar kota dalam waktu yang lama. Maklum, ayahnya seorang perwira Angkatan Darat yang kerap mengemban tugas membela negara di luar daerah sampai berhari-hari. “Rebutan salaman dan mengambil tas ayah sama adik sewaktu ayah pulang dari dinas luar kota,” kenang TYR terhadap sosok ayahnya yang sabar dan membuatnya nyaman. 

Demikian pula dengan RIN, temanku satu lagi yang asli Pasuruan. Saat digendong dan diciumi ayah dan ibu, juga menunggu kedatangan ayahnya, adalah hal-hal manis yang mengingatkannya pada masa kecilnya yang bahagia. Terkadang, dia ingin kembali ke moment-moment masa lalu itu. Mengenang masa indah bersama (almarhum) ayahnya yang selalu menjadi penjaga dan pelindungnya. 

Setiap orang dewasa pasti punya kenangan manis saat masih anak-anak. Meski kadar kemanisannya berbeda-beda. Namun ternyata, tidak semua anak punya kesempatan yang indah untuk menikmati masa anak-anaknya. Masih banyak anak-anak yang kehilangan haknya mencicipi manisnya dunia anak-anak yang tanpa beban dan tanpa tugas berat. Mereka bahkan kehilangan hak dasarnya sebagai anak-anak. 

Salah satu dari mereka yang kehilangan haknya adalah anak-anak jalanan. Data yang pernah dirilis (dulu) Depatemen Sosial, jumlah anak jalanan yang tersebar di Indonesia diperkirakan sekitar 150.000-200.000 anak. Rata-rata, mereka kehilangan hak bersekolah, mendapatkan pelayanan kesehatan, dan tak jarang sering mendapatkan kekerasan dan diskriminasi. Bukan hanya anak jalanan, anak-anak dari keluarga miskin, pun banyak yang tak mendapatkan haknya. Sehingga, kenangan manis apa yang akan mereka simpan saat dewasa nanti. 

Mengacu pada UU Nomor 23/2002, yang dimaksud dengan anak-anak adalah manusia yang berusia kurang dari 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan seorang ibu. Mereka memiliki hak untuk punya nama sebagai identitas diri, mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan, bahkan waktu luang untuk bermain dan rekreasi. Bahkan, untuk bekerja pun mereka sebenarnya dibatasi. Namun, banyak dari mereka yang (tanpa sadar) telah tereksploitasi hanya untuk mendapatkan kehidupan layak. 

Hak dasar mengenyam pendidikan, ternyata belum dinikmati oleh semua anak di Indonesia. Data tahun 2010 saja menunjukkan 1,3 juta anak-anak usia 7-15 tahun dari keluarga miskin terancam putus sekolah, atau hampir tiap menit 4 anak-anak putus sekolah di Indonesia. Begitu pula soal kesehatan dasar. Jangankan kesempatan untuk berobat dan sembuh dari sakit, “jatah” imunisasi dasar seperti imunisasi polis, BCG, dan campak, belum terlayani dengan baik. Penyebabnya, fasilitas dan tenaga medis yang terbatas, serta perhatian orang tua dan pemerintah lokal yang minus. 

Tak sedikit pula anak-anak yang dibuang atau terbuang. Mereka diasingkan karena sisa rasa malu orang tua dan keluarganya, atau perbedaan fisik yang dinilai tak normal atau sama laiknya orang kebanyakan. Anak-anak yang kehilangan penghargaan inilah yang merasakan alpanya hak yang sepatutnya mereka terima. 

Seorang teman menuliskan kalimat cukup bijak di jejaring sosialnya. "JIka anak dibesarkan dengan dorongan dan rasa berbagi, dia akan belajar percaya diri dan dermawan. Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan persahabatan dia akan belajar kebenaran dan menemukan cinta. Namun, jika anak dibesarkan dengan celaan dan permusuhan, dia akan belajar memaki dan berkelahi. Dan, jika anak dibesarkan dengan ketakutan dan olok, dia akan belajar gelisah dan rendah diri. 
 
Huh..., ternyata masalah anak-anak tak sesederhana seperti yang dibayangkan. Tapi, itu bukan tanggung jawab anak-anak untuk mengurusinya. Orang tua, orang dewasa, dan lembaga pemerintahan dan swasta adalah yang bertanggung jawab penuh kepada anak-anak. Sebab, di tangan dan mimpi anak-anak inilah nasib kita di masa depan nanti. Hargailah anak-anak yang ada di sekeliling kita, seperti kita menghargai masa kanak-kanak kita yang manis, yang tak ingin terenggut oleh derita dan problematika pelik. 
Selamat hari Anak Nasional...

-yuda thant-

Sabtu, 21 Juli 2012

J'adore fait la danse


Siapa bilang menari hanya pandai dilakukan oleh kaum hawa? Buktinya, delapan laki-laki berotot atletis mampu memukau sekitar 200 penonton di auditorium Sheraton Hotel Surabaya, Selasa (5/6/2012). Mereka menampilkan tarian kontemporer yang mengandalkan kecepatan gerak dan dinamika tubuh, serta kelenturan tangan yang mampu meliuk-liuk bak akrobat di arena sirkus.

"Keren banget," begitu riuh suara yang terdengar dari sejumlah penonton yang tak henti-hentinya memberi aplaus selama 5 menit, usai menyaksikan electro dance dari grup "Elektro Kif" yang dikoreograferi oleh Blanca Li.

Atraksi tarian yang berjalan sekitar 50 menit itu terbagi menjadi lima segmen yang saling bertautan, dan terangkai dengan apik tanpa ada kesan terputus. Properti yang dikunakan pun tak banyak, hanya delapan meja dan kursi belajar. Namun, dukungan tata lampu dan suara, mampu memberikan latar yang pas sesuai jalan cerita yang disuguhkan.

Segmen pertama, satu persatu penari muncul dengan menampilkan karakternya masing-masing sebagai delapan siswa. Ada karakter badung, modis dan tampil sok gaul, kutu buku, dan konyol, khas anak-anak di bangku SMA. Dari segmen ini, penonton langsung disuguhi koreografi kelenturan dan kecepatan mereka menggerakkan tangan, tanpa terselip atau "keserimpet". Aksi enam penari yang masing-masing berpasangan, menyatu membentuk sosok dwarf yang menari di atas meja, sempat membuat penonton tertawa.

Latar pun beralih ke lapangan basket. Atraksi bermain-menari basket tanpa bola, tidak terlihat aneh, tapi malah menari. Sebab, dentuman bola yang terpantul, disuarakan dari musik latar, diperagakan pas oleh penari-penarinya. Tak ketinggalan, aksi berantem pun dimunculkan oleh  dua penari yang memadukan ballet dgn electro dance.

Setelah lelah bermain basket, penonton digiring ke ruang kantin, dan berlanjut ke suasana ujian. Para penari mampu menghadirkan suasana ujian yang dipenuhi aksi-aksi mencontek. Tiap penari menunjukkan trik mencontek mereka masing-masing. Ada yang di bawah meja, sepatu, sampai ditulis di dada dan celana dalamnya. (Ckckckck..., kok mirip di sini yah!). Meja dan kursi mereka jadikan sarana untuk menari sekaligus bermain musik perkusi. Sederhana, tapi pas dan apik.

Menjelang segmen terakhir, seluruh penari bertelanjang dada dan membalutkan kausnya menjadi ikat kepala, sehingga terkesan seperti rombongan serdadu mesir. Apalagi, gaya tarian yang mereka tampilkan mirip tentara mesir yang muncul di video klip Michael Jackson, belasan tahun lalu.

Adegan terakhir yang ditampilkan delapan penari itu adalah aktivitas berselancar di internet. Gongnya, semua berkumpul di salah satu komputer siswa, yang sepertinya sedang membuka situs dewasa. Itu terlihat dari ekspresi dan gestur mereka yang tiba-tiba merapat dan bermimik sedikit mesum. Hehehehe..., gak di sini gak di sana, siswa emang pengen tahu kalau yang namanya situs dewasa, betul gak??

Tepuk tangan penonton pun akhirnya reda, setelah delapan penari itu, Jeremi Albberge, Khaled Abdulahi, Arnaud Bacharach, Roger Bepet, William Falla, Slate Hemedi, Alou Sidibe, dan Adrien Sissoko, meninggalkan panggung. "Mantab," begitulah kata penonton yang keluar dari ruangan auditorium itu, dalam rangkaian acara "printemps francais" yang digelar oleh Institut Francais Indonesia.
 

(tulisan ini aku comot dari notes di FB-ku yg aku tulis Juni lalu) 


-yuda thant-